Fakta Mengejutkan di Balik Tas Mewah 'Made in France': Benarkah Asalnya dari China?
Tanggal: 24 Apr 2025 08:32 wib.
Popularitas tas mewah dari rumah mode ternama seperti Hermès, Louis Vuitton, hingga Prada kembali menjadi sorotan publik, kali ini bukan karena desain atau harganya yang selangit, melainkan karena klaim mengejutkan yang ramai dibahas di TikTok. Beberapa konten kreator viral mengungkapkan bahwa sebagian besar tas-tas mewah tersebut sebenarnya dibuat di China, sebelum dikirim ke Eropa dan diberi label "Made in France" atau "Made in Italy".
Fenomena ini mencuat di tengah ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China, terutama setelah mantan Presiden Donald Trump menetapkan tarif impor tinggi terhadap produk-produk asal China. Dalam salah satu unggahan viral, seorang TikToker bernama Wang Seng, yang mengaku bekerja di industri manufaktur tas, menyatakan bahwa sekitar 80% tas mewah global diproduksi di China.
Wang juga mengklaim bahwa banyak rumah mode mewah hanya menyelesaikan proses akhir—seperti pemasangan logo dan pengemasan—di negara asal merek tersebut. Dengan begitu, produk-produk tersebut sah diberi label buatan Prancis atau Italia.
Lebih jauh lagi, Seng menyebut bahwa dirinya dan kreator TikTok lainnya bekerja untuk produsen OEM (Original Equipment Manufacturer), yaitu pabrik yang memproduksi barang atas nama perusahaan lain. Barang-barang yang dibuat OEM ini, kata mereka, seringkali identik secara fisik dengan produk merek terkenal namun dijual dengan harga lebih murah jika dibeli langsung dari pabrik.
Klaim-klaim inilah yang kemudian dimanfaatkan para kreator untuk mendorong konsumen membeli produk langsung dari pabrik di China, sebagai bentuk dukungan terhadap industri dalam negeri dan bentuk protes terhadap tarif impor AS yang mencapai 145%.
Namun, benarkah tas-tas mewah itu benar-benar berasal dari China?
Menurut peraturan ketat Uni Eropa, sebuah produk hanya bisa diberi label "Made in France" atau "Made in Italy" jika tahap transformasi substansial terakhir dilakukan di negara tersebut. Artinya, tidak cukup hanya memasang logo atau melakukan pengepakan ulang di Prancis atau Italia.
Situs resmi Hermès, misalnya, mencantumkan secara transparan lokasi produksi mereka yang semuanya berada di Eropa, tanpa satu pun menyebut China. Louis Vuitton juga menerapkan prinsip yang sama. Kedua merek ini menyatakan dengan jelas bahwa seluruh proses produksi mereka diawasi ketat untuk menjamin kualitas dan keaslian.
Namun, tak bisa dipungkiri bahwa industri fesyen, khususnya produk mewah, memang terkenal dengan kerahasiaannya. Jurnalis investigasi Noëmie Leclercq menjelaskan bahwa memang ada beberapa merek kelas menengah seperti Ralph Lauren atau Prada yang melakukan sebagian proses produksi di China. Tetapi, untuk merek ultra-premium seperti Hermès, praktik tersebut sangat diragukan.
Menurut Leclercq, justru barang-barang yang ditampilkan dalam video TikTok kemungkinan besar adalah produk palsu. Ia menyoroti bahwa dalam beberapa tahun terakhir, China memang memperlonggar peraturan kekayaan intelektualnya sebagai respons terhadap tekanan dagang dari Amerika Serikat. Akibatnya, produksi barang palsu berkembang pesat dan digunakan sebagai alat dalam perang dagang.
Leclercq menjelaskan bahwa meskipun banyak merek mewah memiliki toko dan bahkan fasilitas manufaktur di China, bukan berarti mereka memproduksi barang-barang eksklusifnya di sana. Pasar China sangat penting secara ekonomi, namun reputasi tetap dijaga dengan memastikan tahap akhir produksi tetap dilakukan di negara asal.
Yang menarik, isu ini bukan hanya soal asal produksi, melainkan menyentuh masalah yang lebih besar: transparansi industri mode, etika branding, dan peran media sosial dalam membentuk persepsi konsumen. Dalam dunia di mana sebuah video berdurasi 30 detik bisa menyebar ke jutaan orang, merek-merek besar menghadapi tantangan baru dalam menjaga citra dan kepercayaan publik.
Selain itu, kemunculan gerakan “beli langsung dari pabrik” yang dipromosikan oleh para kreator TikTok juga menandai perubahan pola pikir konsumen, terutama generasi muda. Mereka mulai lebih kritis terhadap label dan harga, serta mencari alternatif yang dianggap lebih “jujur”.
Namun, sebagai konsumen, penting untuk memahami perbedaan antara barang original dan barang tiruan. Membeli langsung dari pabrik yang tidak terafiliasi resmi dengan merek mewah tertentu memang bisa menghemat uang, tetapi juga berisiko mendapatkan produk palsu atau berkualitas rendah. Dalam jangka panjang, hal ini juga bisa merugikan konsumen dari sisi keandalan produk dan layanan purna jual.
Pada akhirnya, transparansi menjadi kunci. Industri mode harus lebih terbuka mengenai rantai produksinya, sementara konsumen juga perlu dibekali edukasi agar bisa membuat keputusan belanja yang cerdas. Media sosial, meski penuh potensi informasi, tetap harus disikapi dengan kritis dan penuh pertimbangan.