Sumber foto: iStock

Dulu Mandi Jadi Atraksi Wisata? Begini Cerita Unik Orang Eropa Saat Hadapi Panasnya Indonesia

Tanggal: 4 Mei 2025 08:55 wib.
Bagi masyarakat Indonesia yang tinggal di negara tropis, mandi adalah bagian yang tak terpisahkan dari rutinitas sehari-hari. Dengan suhu udara yang panas dan kelembapan tinggi, mandi tidak hanya menjadi kebutuhan kebersihan, tetapi juga cara menyegarkan tubuh dari rasa gerah akibat keringat. Namun, kebiasaan ini ternyata jauh berbeda dengan masyarakat Eropa, terutama yang tinggal di wilayah beriklim dingin atau subtropis.

Di Eropa, mandi tidak dilakukan sesering di Indonesia karena kondisi cuaca yang lebih dingin membuat tubuh jarang berkeringat. Akibatnya, dorongan untuk mandi tidak sebesar di negara tropis. Akan tetapi, begitu mereka menginjakkan kaki di kawasan seperti Indonesia—dengan sinar matahari yang menyengat dan udara panas yang menempel di kulit—aktivitas mandi menjadi hal yang tidak bisa dihindari.

Ketika Mandi Jadi Hal Eksotis di Mata Orang Eropa

Yang menarik, di masa lampau, terutama berabad-abad lalu, aktivitas mandi justru dianggap sesuatu yang eksotis oleh orang-orang Eropa. Mandi bukan hanya soal kebersihan, tapi pernah menjadi tontonan menarik, bahkan bagian dari atraksi wisata yang ditawarkan hotel di Hindia Belanda.

Fakta menarik ini diungkap oleh sejarawan Achmad Sunjayadi dalam bukunya Pariwisata di Hindia-Belanda 1891-1942 yang terbit pada 2019. Dalam bukunya, Sunjayadi mengulas berbagai catatan para pelancong asing dari abad ke-10 hingga ke-19 yang pernah mengunjungi wilayah yang sekarang dikenal sebagai Indonesia. Cerita-cerita tersebut menunjukkan betapa uniknya pengalaman mereka saat menghadapi panas tropis dan kebiasaan masyarakat lokal, terutama soal mandi.

Budaya Mandi yang Mengagetkan Para Tamu Asing

Masyarakat Eropa pada masa itu tidak terbiasa mandi, terutama karena di negara asal mereka, mandi dianggap bisa membuat tubuh semakin dingin dan berisiko terhadap kesehatan. Oleh karena itu, mandi bukanlah aktivitas harian yang lazim dilakukan. Namun, ketika mereka datang ke Hindia Belanda—yang kala itu belum memiliki teknologi seperti kipas angin apalagi AC—mereka dipaksa untuk beradaptasi dengan cuaca yang panas luar biasa.

Bayangkan Jakarta pada tahun 1861. Saat itu, kota ini masih asri, sepi, dan belum padat seperti sekarang. Suasananya masih cocok untuk dijadikan tujuan wisata, tetapi suhu tropisnya tetap menjadi tantangan besar bagi orang Eropa yang terbiasa dengan cuaca dingin. Mereka merasa harus segera mandi setelah menjalani aktivitas di luar ruangan untuk mendinginkan badan yang sudah dipenuhi keringat.

Namun, karena belum terbiasa, banyak dari mereka bahkan tidak tahu cara mandi yang sesuai dengan kebiasaan tropis. Di sinilah masyarakat lokal memainkan peran penting. Mereka memperkenalkan cara mandi khas Indonesia—dengan mengguyur air dari ember atau bak menggunakan gayung. Menurut Sunjayadi, para tamu asing sangat antusias mengikuti aktivitas ini dan merasa segar kembali setelahnya.

Ketika Hotel Menjual Pengalaman Mandi Sebagai Paket Wisata

Tingginya antusiasme orang asing terhadap mandi menjadi peluang bisnis tersendiri. Salah satu hotel yang melihat celah ini adalah Hotel de l’Univers, yang berlokasi di kawasan Molenvliet, Batavia—yang kini menjadi Jl. Gajah Mada dan Jl. Hayam Wuruk di Jakarta.

Pada tahun 1861, hotel ini menciptakan pengalaman yang dikemas dalam sebuah paket wisata unik, dengan mandi sebagai salah satu daya tarik utamanya. Namun, mandi bukan satu-satunya aktivitas yang ditawarkan dalam paket tersebut.

Menurut Sunjayadi, paket yang ditawarkan Hotel de l’Univers dimulai dengan menyajikan rijsttafel, sebuah sajian makan siang khas Hindia Belanda yang mewah dan lengkap. Setelah makan siang, para tamu akan diarahkan untuk menjalani siesta atau waktu istirahat. Mereka bisa tidur di kamar atau bersantai di kursi malas yang tersedia di serambi hotel.

Selama masa istirahat, para tamu dianjurkan untuk tidak berjalan-jalan di luar ruangan dan menghindari terik matahari agar tubuh tetap dalam kondisi nyaman. Setelah melewati waktu siang, tepat pukul 4 sore, para tamu akan disuguhkan teh oleh babu lokal, yang menjadi bagian dari pengalaman kolonial saat itu. Barulah setelah itu, mereka diarahkan untuk mandi di bak mandi besar yang berisi air segar untuk menutup hari dengan rasa nyaman.

Mandi: Dari Kebutuhan Fisik Menjadi Pengalaman Budaya

Fenomena ini menunjukkan bagaimana aktivitas sehari-hari seperti mandi bisa berubah menjadi pengalaman budaya yang berharga bagi orang dari belahan dunia lain. Bagi masyarakat Eropa yang belum terbiasa dengan iklim tropis, mandi di Indonesia bukan hanya cara membersihkan diri, tetapi juga cara mereka menyesuaikan diri dan merasakan kehidupan lokal.

Lebih dari itu, pengalaman mandi yang mereka alami di Hindia Belanda bahkan diingat sebagai bagian dari perjalanan wisata yang mengesankan. Mandi menjadi simbol dari pertemuan dua budaya—antara cara hidup masyarakat lokal dan para pendatang asing—yang akhirnya menciptakan cerita unik dalam sejarah pariwisata kolonial.

Kisah ini juga memberi kita gambaran tentang betapa berbedanya persepsi terhadap kebiasaan harian di berbagai budaya. Hal yang kita anggap biasa, seperti mandi dua kali sehari, bisa jadi sesuatu yang luar biasa dan bahkan eksotis di mata orang lain.

Refleksi Budaya yang Masih Relevan

Di era modern ini, kita mungkin tidak lagi melihat mandi sebagai sesuatu yang istimewa. Namun, kisah di balik kebiasaan ini mengingatkan kita bahwa setiap aktivitas sederhana menyimpan nilai budaya dan sejarah yang menarik. Terutama dalam konteks interaksi antarbangsa dan adaptasi iklim, kebiasaan kecil seperti mandi bisa menciptakan dampak besar terhadap pengalaman hidup seseorang.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved