Di Tengah Hidup Makin Sulit, Gaya Hidup Flexing Justru Meningkat, Ada Apa?
Tanggal: 1 Jun 2025 10:16 wib.
Tampang.com | Di tengah sorotan tajam terhadap sulitnya kondisi ekonomi dan naiknya harga kebutuhan pokok, fenomena flexing atau pamer kekayaan di media sosial justru makin marak. Mulai dari foto liburan mewah, barang branded, hingga gaya hidup serba glamor, semua dipamerkan tanpa ragu. Muncul pertanyaan: apakah gaya hidup hedon sudah menjadi normal baru di era krisis?
Pamer Gaya Hidup Mewah saat Banyak Orang Susah
Flexing kini bukan hanya dilakukan selebritas atau publik figur. Masyarakat umum pun ikut terpancing dalam budaya digital yang menjadikan kemewahan sebagai tolok ukur kesuksesan. Padahal, realitas ekonomi menunjukkan angka pengangguran meningkat dan daya beli masyarakat menurun.
“Saya lihat teman-teman saya biasa saja secara ekonomi, tapi di Instagram seperti crazy rich. Jadi bingung mana yang nyata,” ujar Dika, karyawan swasta yang mengaku heran dengan fenomena ini.
Tekanan Sosial di Balik Gengsi Digital
Banyak ahli psikologi menilai bahwa tren flexing lahir dari tekanan sosial yang semakin besar akibat media sosial. Algoritma mendorong konten yang menarik perhatian visual, sehingga gaya hidup mewah lebih cepat viral. Ini menciptakan ilusi bahwa kebahagiaan dan pencapaian harus ditampilkan lewat barang mahal atau pengalaman eksklusif.
“Flexing itu sering kali bukan cerminan kekayaan, tapi respons atas tekanan untuk terlihat berhasil,” ujar Rina, psikolog yang kerap menangani kasus kecemasan akibat media sosial.
Realita: Utang Konsumtif Demi Citra Diri
Di balik unggahan gemerlap, banyak cerita soal cicilan, paylater, hingga utang kartu kredit yang menumpuk. Tak sedikit orang memaksakan gaya hidup mewah demi citra diri, meski secara finansial justru terjebak dalam lilitan utang.
“Mereka rela hidup pas-pasan asalkan feed Instagram terlihat kaya. Ini sangat berbahaya,” lanjut Rina.
Dampak Sosial: Kesenjangan dan Krisis Identitas
Tren ini juga memperlebar jurang sosial di masyarakat. Anak muda yang melihat unggahan tersebut bisa merasa tertinggal, gagal, bahkan tidak berharga. Jika tidak disaring, flexing dapat memicu rasa iri, rendah diri, dan membuat standar kebahagiaan menjadi tidak realistis.
Perlu Literasi Digital dan Kesadaran Kolektif
Penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa media sosial bukan cermin akurat kehidupan nyata. Literasi digital perlu diperkuat agar generasi muda tidak terjebak dalam pencitraan kosong yang mengorbankan stabilitas mental dan keuangan pribadi.
Hidup Sederhana Bukan Tanda Gagal
Kesuksesan tidak selalu harus ditampilkan dengan kemewahan. Di tengah tekanan ekonomi global, gaya hidup sederhana dan bertanggung jawab justru menjadi pilihan bijak. Yang penting bukan apa yang dipamerkan, tapi bagaimana seseorang hidup dengan tenang, jujur, dan seimbang.