Di Balik Gemerlap Mewahnya, Burberry Alami Krisis: Ribuan Karyawan Terancam PHK, Apa Penyebab Sebenarnya?
Tanggal: 17 Mei 2025 13:04 wib.
Burberry, salah satu merek fashion mewah paling ikonik asal Inggris, sedang menghadapi masa yang sulit. Di tengah reputasinya sebagai simbol gaya dan kemewahan, perusahaan ini justru mengumumkan rencana besar-besaran untuk memangkas jumlah karyawan secara signifikan. Pada Rabu, 14 Mei 2025, pihak manajemen mengumumkan akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berdampak pada hampir seperlima dari total tenaga kerja globalnya.
Keputusan mengejutkan ini diambil sebagai langkah strategis perusahaan untuk memangkas biaya operasional di tengah penurunan tajam profit dan penjualan. Burberry yang selama ini dikenal lewat jaket trench ikonik dan koleksi modis khasnya, kini harus berhadapan dengan realita berat: penurunan daya beli di pasar utama seperti Tiongkok, serta tekanan ekonomi global yang terus meningkat.
Menguak Akar Krisis: Dari Kemenangan Besar Menuju Kerugian Triliunan
Dalam laporan keuangan yang dirilis kepada publik, Burberry mencatat kerugian bersih sebesar £75 juta atau setara dengan Rp 1,6 triliun untuk periode 12 bulan hingga akhir Maret. Angka ini sangat kontras dengan tahun sebelumnya, ketika perusahaan masih mencatat laba sebesar £270 juta (sekitar Rp 5,9 triliun). Sebuah penurunan tajam yang menandakan adanya gangguan besar dalam struktur bisnis maupun strategi pasar mereka.
Tak hanya kerugian laba bersih, pendapatan total Burberry juga anjlok hingga 17 persen, dari £2,96 miliar menjadi hanya £2,46 miliar (sekitar Rp 54 triliun). Kondisi ini menjadi bukti bahwa bukan hanya operasional internal yang terdampak, tetapi juga daya serap pasar terhadap produk-produk high-end yang mulai menurun drastis.
PHK Massal Jadi Pilihan: 1.700 Karyawan Diambang Pemutusan Kontrak
Sebagai bagian dari upaya pemulihan, Burberry menargetkan penghematan biaya sebesar £60 juta (sekitar Rp 1,3 triliun) hingga tahun 2027. Strategi ini sayangnya harus dibayar mahal oleh para karyawannya, karena akan berdampak langsung pada sekitar 1.700 tenaga kerja, atau sekitar 18 persen dari total staf global perusahaan.
Langkah ini dipandang oleh sejumlah analis sebagai keputusan yang sulit tapi tak terhindarkan. Dalam situasi di mana margin keuntungan terus menyempit dan persaingan di industri fesyen makin ketat, efisiensi menjadi kata kunci.
Perubahan Kepemimpinan dan Harapan Baru di Tengah Krisis
Joshua Schulman, CEO Burberry yang baru menjabat sejak Juli 2024, menjadi tokoh kunci dalam menghadapi badai ini. Menggantikan Jonathan Akeroyd, Schulman datang dengan misi besar: mengembalikan kejayaan Burberry dengan strategi yang lebih fokus dan relevan terhadap kebutuhan pasar saat ini.
Dalam pernyataannya, Schulman mengaku optimis meski mengakui bahwa perusahaan tengah berada pada masa yang menantang. "Walau kami beroperasi dalam kondisi makroekonomi yang sulit dan masih dalam tahap awal pemulihan, saya lebih optimis dari sebelumnya bahwa hari-hari terbaik Burberry akan segera tiba," ujarnya dengan nada percaya diri.
Schulman juga mengungkapkan fokus barunya, yakni memperkuat segmen pakaian luar, terutama mantel panjang khas Burberry yang selama ini menjadi simbol gaya klasik modern. Ia berharap, strategi ini dapat mengembalikan minat pasar dan menjaring pelanggan baru, khususnya dari kalangan muda dan kelas menengah ke atas.
Dampak Global: Lesunya Permintaan dari China dan Ketidakpastian Geopolitik
Salah satu faktor utama yang mendorong krisis Burberry adalah menurunnya permintaan dari pasar China, yang selama ini menjadi salah satu penopang utama industri fesyen mewah dunia. Konsumen kelas atas di negara tersebut menunjukkan kecenderungan menahan belanja, baik karena faktor ekonomi domestik yang melambat maupun ketidakpastian geopolitik yang membuat pasar global lebih hati-hati.
Burberry, yang selama ini sangat bergantung pada pasar Asia, kini dihadapkan pada tantangan untuk melakukan diversifikasi pasar serta penyesuaian strategi bisnis agar tidak terlalu rentan terhadap satu wilayah saja.
Di samping itu, Schulman juga menyinggung bahwa perkembangan kondisi geopolitik dunia ikut memperburuk ketidakpastian ekonomi global. Ketegangan internasional, fluktuasi mata uang, serta kebijakan proteksionis beberapa negara memberi dampak signifikan terhadap mobilitas perdagangan dan distribusi produk fesyen global.
Apa yang Bisa Dipelajari dari Kasus Burberry?
Kasus yang dialami Burberry merupakan cerminan dari kondisi nyata sektor fesyen mewah global saat ini. Di balik kilau runway dan kampanye iklan eksklusif, terdapat tantangan besar yang berkaitan dengan perubahan pola konsumsi, tren pasar yang dinamis, dan tekanan ekonomi makro yang semakin kompleks.
Perusahaan sekelas Burberry pun tidak kebal terhadap tekanan ini. Bahkan merek besar pun perlu terus berinovasi, merespon tren dengan cepat, serta mengelola risiko keuangan dan SDM dengan cermat.
PHK massal memang bukan solusi jangka panjang yang ideal, namun dalam beberapa kondisi ekstrem, langkah ini dianggap sebagai jalan untuk menjaga stabilitas perusahaan. Yang menjadi tantangan adalah bagaimana perusahaan bisa bangkit kembali dengan reformasi strategi yang lebih adaptif, efisien, dan berorientasi pada keberlanjutan.