Cermati Risiko Ini Sebelum Membeli Properti Murah di Jepang
Tanggal: 19 Nov 2024 09:30 wib.
Perumahan di Jepang saat ini menghadapi kelebihan pasokan, mengingat banyaknya rumah kosong yang belum terisi. Hal ini memengaruhi harga properti di negara tersebut, menjadikannya menarik bagi investor asing.
Pada tahun 2023, jumlah rumah kosong atau yang dikenal dengan istilah "akiya" di Jepang mencapai 9 juta unit, menurut data pemerintah. Harganya rata-rata berada di bawah US$ 10.000 atau setara dengan Rp 156,54 juta.
Fenomena peningkatan jumlah rumah terbengkalai di Jepang sebagian besar disebabkan oleh krisis populasi, yang ditandai dengan tingkat kesuburan yang merosot hingga mencapai rekor terendah yaitu hanya 1,2 kelahiran per wanita pada tahun 2023.
Di samping itu, tingkat kematian yang telah melampaui tingkat kelahiran juga turut berdampak, mengingat populasi lanjut usia terus meningkat di Jepang. Negara ini telah masuk dalam kategori "aging population".
Menurut Kepala penelitian dan konsultasi di Savills Jepang, Tetsuya Kaneko, masalah akiya di Jepang sudah ada sejak beberapa dekade yang lalu, dimulai dari ledakan ekonomi pasca perang yang menyebabkan lonjakan pembangunan perumahan.
Permasalahan ini semakin terasa pada tahun 1990-an ketika terjadi perlambatan ekonomi dan berlanjut dengan perubahan demografis yang terus berlangsung.
Migrasi penduduk ke wilayah perkotaan juga menjadi salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap rumah-rumah terbengkalai di Jepang. Generasi muda yang pindah ke kota untuk bekerja meninggalkan daerah pedesaan dengan populasi yang menua, yang pada akhirnya meninggal dan tidak dapat merawat rumah-rumah mereka.
Terkait stigma negatif terhadap akiya, Tetsuya Kaneko menyatakan bahwa rumah-rumah tersebut sering dianggap sebagai beban, terutama karena biaya renovasi yang tinggi di Jepang. Hal ini menyebabkan rumah-rumah yang diwarisi dari orang tua ke anaknya seringkali dijual atau tidak ditempati.
Khususnya, rumah-rumah yang berusia lebih dari 30 tahun umumnya dianggap sebagai rumah yang sudah tua, bahkan beberapa orang mengasosiasikannya dengan takhayul, percaya bahwa rumah-rumah tersebut mungkin berhantu atau membawa nasib buruk.
Pada akhirnya, Michael, pendiri blog real estat Cheap Houses Japan, menegaskan bahwa banyak orang di Jepang melihat akiya sebagai barang yang tidak berharga bahkan merepotkan.
Properti dengan harga termurah sering kali terjadi karena alasan tertentu, baik itu karena lokasinya tidak diinginkan maupun biaya renovasinya diperkirakan melebihi nilai properti.
Permasalahan ini mendorong munculnya minat dari warga negara asing untuk membeli properti di Jepang. Menurut Tetsuya Kaneko, peningkatan minat asing tersebut sebagian besar didorong oleh pandemi, tren kerja jarak jauh, dan pergeseran preferensi gaya hidup.
Sebagai contoh, Anton Wormann, seorang pria asal Swedia, merupakan salah satu dari mereka yang tertarik untuk membeli properti di Jepang mengingat harga properti yang terjangkau.
Setelah berkeliling dunia dan bekerja sebagai model, dia akhirnya memutuskan untuk menetap di Jepang pada 2018 setelah mengetahui bahwa Jepang menjual rumah dengan harga yang cukup murah. Saat ini, Wormann telah memiliki tujuh akiya, dan bekerja sebagai pembuat konten penuh waktu dan investor real estat di Jepang.
Kendati demikian, Wormann mengakui bahwa untuk bisa sukses dalam bisnis properti, diperlukan pemahaman yang baik terhadap budaya dan cara kerja masyarakat Jepang. Proses renovasi serta pembentukan jejaring komunitas juga menjadi faktor kunci dalam meraih kesuksesan dalam bisnis ini.
Dalam pandangan Tetsuya Kaneko, properti akiya dapat menjadi investasi yang menarik bagi kelompok tertentu, seperti penghobi, renovator DIY, atau mereka yang mencari ketenangan di pedesaan.
Namun demikian, akiya tidaklah ideal bagi investor institusional atau mereka yang mencari pengembalian cepat atau besar, mengingat adanya biaya renovasi yang tinggi dan kendala potensi penjualan kembali di beberapa daerah.
Selain itu, proses pembelian rumah di Jepang juga dapat rumit karena masalah bahasa dan peraturan setempat yang perlu dinavigasi. Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk berinvestasi dalam properti di Jepang, kita perlu mempertimbangkan risiko-risiko yang terkait dengan keadaan pasar properti di negara tersebut.