Cancel Culture: Efek Jera atau Justru Menghancurkan Reputasi?
Tanggal: 12 Feb 2025 19:49 wib.
Fenomena cancel culture atau budaya pembatalan telah menjadi salah satu topik terhangat dalam beberapa tahun terakhir, terutama di dunia maya. Diakui atau tidak, istilah ini semakin menghangatkan diskusi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Banyak selebriti dan figur publik yang menjadi target utama dari budaya ini, yang sering kali muncul akibat pernyataan atau tindakan yang kontroversial serta dinilai tidak pantas oleh masyarakat.
Tak hanya individu, tetapi perusahaan dan merek-merek juga sering kali terlilit dalam isu ini, sering kali akibat tidak tanggap terhadap isu sosial atau kesalahan kampanye pemasaran. Sebuah pertanyaan penting pun muncul: Apa sesungguhnya cancel culture itu? Bagaimana dampaknya terhadap individu atau perusahaan yang menjadi sasarannya, dan apakah Indonesia sudah terpengaruh oleh budaya ini? Mari kita telaah lebih dalam.
Cancel culture dapat dijelaskan sebagai suatu upaya kolektif untuk mengucilkan atau "membatalkan" individu baik secara virtual di media sosial maupun di kehidupan nyata. Hal ini kerap kali diartikan sebagai boikot yang dilakukan oleh masyarakat dalam skala besar terhadap seseorangan yang dianggap berperilaku menyimpang, merugikan, atau tidak pantas. Siapa saja bisa menjadi sasaran, tetapi figur publik, selebriti, atau perusahaan merupakan yang paling rentan.
Tujuan dari boikot ini adalah memberikan sanksi sosial dengan harapan agar individu tersebut tidak lagi muncul di ruang publik atau kehilangan posisinya saat ini. Alhasil, orang-orang yang ditargetkan oleh perilaku ini sering kali merasakan penurunan popularitas yang drastis, bahkan karier yang hancur dalam waktu singkat.
Di Indonesia sendiri, fenomena cancel culture ini kian berkembang, terlebih dengan semakin banyaknya masyarakat yang aktif di media sosial. Sebut saja kasus Abidzar Al Ghifari yang menghadapi kritik tajam setelah pernyataannya yang dianggap kontroversial sebelum film "A Bussines Proposal" tayang. Tak jauh berbeda, Gus Miftah juga merasakan dampak yang sama setelah membuat pernyataan yang dianggap menghina penjual minuman. Tak hanya mereka, Dwi Citra Weni, seorang karyawan di PT. Timah, juga kehilangan pekerjaannya setelah menghina pegawai honorer.
Sejarah mencatat, banyak figur publik yang pernah menjadi korban cancel culture. Ada yang terpuruk dan menghilang dari sorotan publik, sementara yang lainnya perlahan bangkit dan diterima kembali beberapa tahun kemudian. Pertanyaannya, apakah Abidzar atau Gus Miftah akan mampu bangkit kembali? Itu masih menjadi misteri.
Berkaca dari fenomena serupa di Korea Selatan, cancel culture di negara tersebut sering kali mendorong tekanan massal dari publik yang berdampak signifikan pada kehidupan pribadi dan karier para selebriti. Ketika seorang public figure melanggar norma, masyarakat dengan cepat bersatu padu memboikot mereka. Peran pemerintah serta sektor swasta pun tidak kalah signifikan, dengan menarik iklan dan menjatuhkan sanksi bagi para pelanggar.
Contoh kasus yang mencolok adalah Lee Sun Kyun, aktor film "Parasite" yang menjadi sorotan setelah dituduh terlibat dalam penyalahgunaan narkoba. Meskipun tuduhan tersebut masih dalam penyelidikan dan hasil lab-nya negatif, kariernya hancur seketika akibat tindakan cancel culture. Kontrak kerjanya dibatalkan, serta skandal yang mengakibatkan depresi hingga keputusannya untuk mengakhiri hidup.
Sementara itu, Park Yoo Chun, mantan anggota TVXQ dan JYJ, juga merasakan dampaknya setelah terlibat dalam skandal dengan mantan tunangannya. Statusnya di industri hiburan terancam dan semua proyek serta kontrak iklan yang dimilikinya dibatalkan. Meskipun ia mencoba untuk bangkit, publik Korea Selatan tetap menolak untuk memaafkannya.
Cancel culture juga memiliki efek yang luas dan berpotensi merugikan, terutama dalam konteks mental health. Menghadapi hujatan dan tekanan, ada resiko munculnya gangguan kecemasan hingga depresi. Banyak yang merasa terisolasi dan terasing akibat perundungan yang terjadi di media sosial. Ketika seorang public figure menjadi target, mereka tidak hanya kehilangan dukungan dari penggemar, tetapi juga mengalami dampak finansial yang memengaruhi karier mereka secara keseluruhan.
Bagi pengusaha, cancel culture berisiko mendatangkan ulasan negatif dan rating rendah, yang pada akhirnya berpotensi menutup usaha mereka. Sementara untuk individu biasa, ada risiko menjadi korban doxing, di mana informasi pribadi mereka disebarluaskan secara online, berpotensi membahayakan keselamatan dan privasi mereka. Sayangnya, pelaku doxing dapat dijerat oleh Undang-Undang ITE, namun banyak yang masih melakukannya dengan sembarangan.
Cancel culture sering kali muncul tanpa adanya verifikasi yang jelas, sehingga individu yang ditargetkan dalam banyak kasus kehilangan kesempatan untuk membela diri atau meminta maaf. Kasus Johnny Depp contohnya, ketika ia dikecam setelah dituduh melakukan kekerasan dalam rumah tangga oleh Amber Heard. Setelah melalui proses hukum, terbukti bahwa tuduhan itu tidak benar, namun reputasinya sudah terlanjur hancur.
Seringkali, boikot dimulai dari perkara sepele, kurangnya pemahaman, atau bahkan kesalahpahaman yang berkembang. Masyarakat yang kurang informasi kemudian dengan cepat ikut-ikutan, membentuk opini tanpa menyelidiki lebih lanjut. Media massa pun tak jarang terjebak dalam arus pemberitaan yang viral, memperparah situasi.
Di Indonesia, efek dari budaya pembatalan ini beragam. Ada yang terpuruk hingga hilang dari peredaran, ada yang memilih untuk hiatus, hingga ada pula yang memanfaatkan situasi untuk meningkatkan popularitas dan eksposur. Meskipun di satu sisi cancel culture bisa menjadi alat untuk menyuarakan keadilan, di sisi lain ia juga berpotensi memecah belah masyarakat dan menciptakan ketidakadilan yang lebih besar.
Oleh karena itu, sebelum terjun ke dalam budaya ini, sangat penting untuk memastikan informasi yang beredar akurat serta jelas biar tidak menjadi alat untuk menghancurkan reputasi orang lain secara sembarangan.