Cancel Culture di Media Sosial: Baik atau Buruk?
Tanggal: 1 Sep 2025 13:41 wib.
Media sosial telah mengubah cara kita berinteraksi, berbagi informasi, dan menanggapi isu publik. Dalam ekosistem digital yang serba cepat ini, muncul sebuah kejadian yang dikenal sebagai cancel culture atau budaya pembatalan. Ini merujuk pada praktik publik yang secara kolektif menarik dukungan dari, atau mengkritik habis-habisan, figur publik atau merek yang dianggap telah melakukan tindakan atau mengeluarkan pernyataan kontroversial. Mereka yang menjadi target "pembatalan" ini seringkali menghadapi konsekuensi berat, mulai dari kehilangan reputasi hingga pemutusan kontrak profesional.
Sisi Baik: Menegakkan Akuntabilitas di Ruang Publik
Pendukung cancel culture berpendapat bahwa ini adalah mekanisme penting untuk menegakkan akuntabilitas, terutama bagi individu atau entitas yang memiliki kekuasaan dan pengaruh besar. Di masa lalu, figur-figur publik seringkali bisa lolos dari perbuatan atau pernyataan yang tidak etis atau diskriminatif. Namun, dengan media sosial, publik memiliki kekuatan untuk memegang mereka bertanggung jawab.
Cancel culture memberikan suara kepada masyarakat yang sebelumnya tidak punya platform. Korban dari pelecehan, diskriminasi, atau ketidakadilan kini bisa berbagi pengalaman mereka secara luas dan mendapatkan dukungan dari ribuan, bahkan jutaan orang. Ini memaksa figur publik untuk menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka, yang bisa menjadi insentif untuk berpikir dua kali sebelum bertindak. Contohnya, beberapa kasus pelecehan seksual atau komentar rasis yang terungkap di media sosial telah berhasil membuat pelaku kehilangan pekerjaan atau kontrak, yang mungkin tidak akan terjadi tanpa desakan publik. Dalam konteks ini, cancel culture berfungsi sebagai pengadil moral di era digital, memastikan bahwa tidak ada yang kebal dari pengawasan publik.
Fenomena ini juga mendorong percakapan penting tentang isu-isu sosial yang sensitif. Ketika seseorang atau sebuah merek dibatalkan karena komentar rasis, misalnya, hal itu bisa memicu diskusi yang lebih luas tentang pentingnya anti-rasisme. Dengan demikian, cancel culture bisa menjadi katalisator untuk perubahan sosial yang positif, meningkatkan kesadaran publik dan mendorong masyarakat untuk menjadi lebih peka terhadap isu-isu keadilan.
Sisi Buruk: Hukuman Brutal dan Ruang untuk Kesalahan yang Menipis
Di sisi lain, kritikus melihat cancel culture sebagai praktik yang berbahaya dan seringkali tidak proporsional. Salah satu kekhawatiran terbesar adalah sifatnya yang brutal dan tanpa ampun. Hukuman yang dijatuhkan seringkali tidak sebanding dengan kesalahan yang dilakukan. Sebuah komentar ceroboh atau lelucon yang buruk di masa lalu bisa menjadi viral dan menghancurkan karier seseorang seumur hidup, tanpa memberi ruang untuk permintaan maaf yang tulus atau kesempatan untuk belajar dari kesalahan.
Cancel culture juga seringkali didorong oleh emosi dan sentimen massa, bukan oleh proses yang adil. Seseorang bisa "dibongkar" atau "dibatalkan" berdasarkan informasi yang tidak lengkap, konteks yang dihilangkan, atau bahkan tuduhan yang belum terbukti. Serangan digital yang masif (dikenal sebagai mobbing) bisa menjadi sangat traumatis bagi targetnya, terlepas dari kebenaran tuduhan yang ada. Kurangnya proses due process (proses hukum yang adil) dan kesempatan untuk membela diri menjadi salah satu kritik utama terhadap fenomena ini.
Selain itu, cancel culture berpotensi menciptakan budaya ketakutan di mana orang menjadi terlalu berhati-hati untuk berbicara atau berpendapat. Kekhawatiran akan mengatakan hal yang salah dan menghadapi "pembatalan" bisa menghambat kebebasan berekspresi dan membuat orang enggan mengambil risiko intelektual atau berpartisipasi dalam debat yang penting. Ruang untuk humor, eksperimen ide, dan bahkan kesalahan manusiawi menjadi semakin menipis. Ini bisa berujung pada masyarakat yang terlalu sensitif dan kaku, di mana setiap kesalahan, tak peduli seberapa kecil, bisa berakibat fatal.
Mencari Keseimbangan di Tengah Dinamika Digital
Melihat kedua sisi mata uang ini, jelas bahwa cancel culture adalah fenomena yang kompleks dan tidak bisa dibilang sepenuhnya baik atau buruk. Ia punya potensi untuk menjadi alat yang kuat untuk keadilan, tetapi juga berisiko menjadi hukuman yang brutal dan tidak adil. Tantangan bagi kita sebagai pengguna media sosial adalah menemukan keseimbangan.
Daripada langsung "membatalkan" seseorang, mungkin kita bisa mempraktikkan akuntabilitas konstruktif. Ini berarti memanggil seseorang untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka, namun dengan tujuan untuk edukasi dan perbaikan, bukan penghancuran total. Daripada menyebarkan kebencian, kita bisa meminta penjelasan, mendorong dialog, dan memberikan ruang bagi orang untuk meminta maaf dan menunjukkan perubahan.
Masyarakat digital juga perlu mengembangkan literasi media yang lebih baik. Penting untuk tidak mudah terprovokasi oleh berita atau video yang viral. Sebelum ikut dalam gelombang "pembatalan", luangkan waktu untuk memverifikasi informasi, mencari konteks yang hilang, dan berpikir kritis.