Budaya Hustle: Ambisi atau Tekanan Sosial Terselubung?
Tanggal: 20 Mei 2025 21:43 wib.
"Hustle culture" Istilah ini lagi ngetren banget, terutama di kalangan anak muda yang baru merintis karier atau memulai bisnis. Singkatnya, budaya hustle ini adalah paham yang mendorong kita untuk selalu bekerja keras, bahkan kalau perlu sampai mengorbankan waktu istirahat, hobi, bahkan kesehatan demi mencapai kesuksesan. Slogan-slogan seperti "tidur itu buang-buang waktu", "bangun pagi biar rezeki nggak dipatok ayam", atau "kerja keras atau pulang" sering banget kita dengar. Sepintas, budaya ini terlihat sangat positif dan memotivasi, seolah menyoroti pentingnya ambisi karier. Tapi, kalau kita lihat lebih dalam, apakah ini benar-benar tentang ambisi murni dari dalam diri, atau justru ada tekanan sosial terselubung yang bikin kita merasa harus ngoyo terus?
Awalnya, semangat hustle ini memang berangkat dari niat baik: ingin meraih kesuksesan, ingin jadi yang terbaik, dan ingin mencapai target yang tinggi. Apalagi di era digital sekarang, banyak influencer atau entrepreneur muda yang memamerkan hasil kerja kerasnya, pencapaian finansial, dan gaya hidup mewah. Ini seolah jadi bukti bahwa "kerja keras itu nggak akan mengkhianati hasil". Mereka jadi panutan, dan secara nggak langsung, memicu kita untuk ikut-ikutan nge-gas, bekerja tanpa henti, dan merasa bersalah kalau sekadar bermalas-malasan atau mengambil libur.
Namun, di balik gemerlap kesuksesan yang sering dipertontonkan itu, ada sisi lain yang jarang diekspos. Banyak dari kita yang merasa tertekan untuk terus produktif, bahkan di luar jam kerja. Notifikasi email yang masuk di malam hari, grup chat kantor yang nggak pernah sepi, atau ekspektasi untuk selalu responsif, semuanya berkontribusi pada perasaan harus selalu "on". Istilah work-life balance seolah jadi utopia, digantikan oleh work-life blend yang artinya batas antara kerja dan hidup pribadi jadi semakin kabur.
Ini yang kemudian memunculkan pertanyaan: apakah kita benar-benar hustling karena passion dan ambisi pribadi, atau karena kita takut tertinggal dari teman-teman yang kelihatannya sudah lebih maju? Tekanan sosial di sini berperan sangat besar. Media sosial seringkali menjadi panggung utama di mana kita membandingkan diri dengan orang lain. Melihat teman sudah punya ini-itu, sudah di posisi ini, atau sudah punya side hustle yang menghasilkan, seringkali memicu rasa insecure dan dorongan untuk ikut-ikutan ngebut. Kita jadi merasa wajib untuk selalu punya side hustle atau proyek di luar pekerjaan utama, sekadar biar nggak dianggap "diam" atau "nggak produktif".
Padahal, tubuh dan pikiran kita punya batasnya. Terus-menerus memaksakan diri untuk bekerja tanpa henti bisa berujung pada kelelahan ekstrem, yang biasa kita sebut burnout. Dampaknya nggak main-main, mulai dari kesehatan fisik yang menurun, stres kronis, kecemasan, sampai depresi. Hubungan personal juga bisa jadi korban karena waktu yang seharusnya dihabiskan bersama keluarga atau teman terpaksa dikorbankan demi pekerjaan.
Jadi, sebenarnya budaya hustle ini adalah ambisi yang sehat atau tekanan sosial yang terselubung? Jawabannya mungkin kombinasi keduanya. Ambisi itu penting untuk mendorong kita maju. Tapi, ketika ambisi itu didorong oleh ketakutan, perbandingan dengan orang lain, atau ekspektasi yang nggak realistis dari lingkungan, di situlah hustle culture bisa jadi bumerang. Penting banget buat kita untuk bisa membedakan mana yang ambisi murni dari dalam diri, dan mana yang hanya fear of missing out (FOMO) atau TekananKerja yang nggak sehat.
Kita perlu ingat, kesuksesan itu nggak harus dicapai dengan mengorbankan segalanya. Istirahat itu penting, hobi itu perlu, dan menghabiskan waktu berkualitas dengan orang-orang terkasih juga bagian dari hidup yang sehat dan seimbang. Daripada terus-terusan ngoyo mengikuti standar yang nggak realistis, lebih baik kita fokus pada tujuan pribadi, tahu kapan harus push, dan kapan harus pause. Karena bagaimanapun, perjalanan AmbisiAnakMuda itu maraton, bukan sprint. Jangan sampai di tengah jalan sudah kehabisan napas dan semangat.