Sumber foto: iStock

Bahaya Tersembunyi di Atap Rumah: Kenapa WHO Larang Penggunaan Asbes dan Indonesia Harus Waspada

Tanggal: 15 Mei 2025 05:06 wib.
Di banyak wilayah Indonesia, penggunaan atap asbes masih menjadi pilihan populer untuk pembangunan rumah. Alasannya cukup sederhana: material ini tergolong murah, ringan, dan mudah dipasang. Namun di balik efisiensi dan biaya rendah itu, tersimpan bahaya serius yang sering kali tidak disadari oleh masyarakat.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara tegas telah mengeluarkan larangan penggunaan asbes dalam bangunan tempat tinggal maupun fasilitas umum. Larangan ini bukan tanpa alasan, karena material asbes terbukti mengandung serat beracun yang sangat berbahaya jika terhirup oleh manusia. Sayangnya, informasi ini belum sepenuhnya tersosialisasikan dengan baik ke masyarakat luas.

Serat Mikro Mematikan: Bahaya Nyata Asbes yang Tak Terlihat

Mengutip laporan dari detikcom (7/5), asbes mengandung serat mikroskopis yang bisa terlepas ke udara. Serat-serat ini sangat halus dan kecil, bahkan menurut Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta, diameternya kurang dari 3 mikrometer—lebih tipis dari 1/700 helai rambut manusia.

Ukuran super kecil ini membuat serat asbes sangat mudah masuk ke dalam paru-paru tanpa terdeteksi. Lebih parahnya, tubuh manusia tidak memiliki kemampuan alami untuk menyingkirkan partikel ini setelah masuk ke sistem pernapasan. Artinya, sekali terhirup, serat asbes bisa tinggal di dalam paru-paru selama puluhan tahun.

Yang membuatnya semakin berbahaya, gejala dari paparan serat asbes biasanya baru muncul 40 hingga 60 tahun setelah paparan pertama terjadi. Ini membuat banyak orang tidak sadar bahwa kondisi paru-parunya telah rusak karena material bangunan yang mereka gunakan bertahun-tahun lalu.

Asbestosis dan Kanker Paru: Penyakit Mematikan Akibat Asbes

Salah satu penyakit utama yang ditimbulkan oleh paparan serat asbes adalah asbestosis. Penyakit ini menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada paru-paru, yang mengganggu proses pernapasan dan memperlambat masuknya oksigen ke dalam aliran darah. Dalam istilah medis, kondisi ini juga dikenal sebagai fibrosis paru atau pneumonitis interstisial.

Tak hanya itu, serat asbes juga diketahui sebagai pemicu utama munculnya kanker paru-paru agresif bernama mesothelioma. Kanker ini sangat langka dan bersifat ganas, menyerang membran pelindung paru-paru, jantung, dan bahkan organ pencernaan. Mesothelioma sangat sulit dideteksi pada tahap awal dan umumnya baru terdiagnosis saat sudah memasuki stadium lanjut.

Perlu dicatat bahwa hingga saat ini, asbestosis tidak memiliki obat yang benar-benar menyembuhkan. Pengobatan hanya bersifat simptomatik, yakni untuk meredakan gejala dan memperlambat kerusakan. Karena itu, perubahan gaya hidup seperti berhenti merokok menjadi langkah krusial dalam upaya menekan dampak penyakit ini.

WHO: Asbes adalah Karsinogen dan Harus Dilarang

WHO secara resmi mengategorikan asbes sebagai zat karsinogenik, atau zat yang dapat menyebabkan kanker. Dalam laporan tahun 2016, WHO mencatat bahwa ada lebih dari 200.000 kasus kematian di seluruh dunia yang disebabkan oleh paparan serat asbes. Yang lebih mengejutkan, sekitar 70 persen di antaranya terjadi di lingkungan kerja, seperti pabrik, tambang, atau proyek konstruksi yang menggunakan material ini.

Sebagai bentuk pencegahan, WHO telah menerima laporan dari setidaknya 50 negara yang telah menetapkan regulasi tegas untuk melarang penggunaan asbes. Pelarangan ini meliputi tidak hanya produksi, tetapi juga distribusi, pemasangan, hingga pengolahan limbahnya.

Bagaimana dengan Indonesia? Sudahkah Ada Regulasi Khusus?

Di Indonesia, kesadaran terhadap bahaya asbes mulai meningkat. Dinas Kesehatan DKI Jakarta, misalnya, sudah melakukan edukasi publik melalui media sosial. Dalam salah satu unggahannya, Dinkes menyatakan bahwa asbes tergolong Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999.

Lebih lanjut, ada juga aturan dari Kementerian Kesehatan, yakni Permenkes Nomor 2 Tahun 2023 yang merupakan turunan dari PP Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan. Dalam regulasi ini, penggunaan material asbes memang tidak sepenuhnya dilarang, tetapi dibatasi sangat ketat. Batas maksimum serat asbes yang boleh digunakan adalah 5 serat per mililiter udara.

Meskipun demikian, penerapan aturan ini masih menghadapi tantangan besar. Banyak masyarakat yang belum tahu bahaya asbes atau bahkan tidak menyadari bahwa atap rumah mereka mengandung material ini. Oleh karena itu, perlu dorongan dari berbagai pihak—termasuk pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan media massa—untuk memperkuat kampanye sadar bahaya asbes.

Lindungi Diri dan Keluarga dari Ancaman Tak Kasat Mata

Bahaya asbes bukanlah mitos. Serat-serat halus yang tak terlihat bisa menjadi bom waktu bagi tubuh kita, terutama paru-paru. Mengingat dampaknya sangat fatal dan penyakit yang ditimbulkan bersifat tak tersembuhkan, maka mencegah jauh lebih baik daripada mengobati.

Jika rumah Anda saat ini masih menggunakan atap asbes, pertimbangkan untuk menggantinya dengan material yang lebih aman. Meski biayanya mungkin lebih tinggi, investasi tersebut sepadan demi kesehatan Anda dan keluarga di masa depan. Jangan tunggu sampai gejala muncul, karena ketika itu terjadi, mungkin sudah terlambat.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved