Bagaimana Media Massa Membentuk Opini Publik tentang Demonstrasi?
Tanggal: 1 Sep 2025 13:41 wib.
Demonstrasi adalah salah satu cara paling kuat bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi, ketidakpuasan, atau tuntutan. Pemahaman masyarakat tentang sebuah demonstrasi seringkali tidak terbentuk dari pengalaman langsung, melainkan dari cara media massa melaporkannya. Dari pemilihan kata, sudut pandang, hingga gambar yang ditampilkan, media memiliki kekuatan luar biasa untuk membentuk opini publik, menentukan apakah sebuah demonstrasi akan dipandang sebagai perjuangan sah untuk keadilan atau sekelompok massa yang mengganggu ketertiban.
Pemilihan Kata: Mengubah Narasi dari Awal
Media menggunakan bahasa untuk melukiskan sebuah peristiwa, dan pemilihan kata bisa sangat memengaruhi persepsi. Sebuah demonstrasi bisa digambarkan sebagai "aksi damai," "unjuk rasa," atau sebaliknya, sebagai "kerusuhan," "anarki," atau "massa brutal." Perbedaan terminologi ini menciptakan bias yang kuat.
Misalnya, jika media menggunakan kata "protes" dan "aktivis," narasi yang dibangun adalah tentang warga negara yang berpartisipasi dalam proses politik. Sebaliknya, jika kata-kata seperti "huru-hara" dan "perusuh" yang dipilih, narasi beralih ke ancaman terhadap stabilitas dan keamanan. Pemilihan kata ini juga bisa memengaruhi legitimasi tuntutan para demonstran. Jika media fokus pada kekerasan yang dilakukan sekelompok kecil oknum, narasi utama bisa menggeser perhatian dari isu substantif yang disuarakan oleh mayoritas.
Framing Berita: Memilih Sudut Pandang
Selain kata-kata, media juga menggunakan framing untuk membentuk opini. Framing adalah proses memilih aspek tertentu dari sebuah realitas dan membuatnya lebih menonjol dalam sebuah berita. Dalam konteks demonstrasi, framing bisa terlihat dalam beberapa cara:
Framing Konflik: Media sering kali memilih untuk fokus pada bentrokan antara demonstran dan aparat, penggunaan gas air mata, atau kerusakan fasilitas umum. Framing ini menarik perhatian karena sifatnya dramatis, namun mengabaikan alasan mendalam di balik demonstrasi itu sendiri. Opini publik yang terbentuk akan cenderung melihat demonstran sebagai sumber masalah, bukan sebagai korban.
Framing Keadilan Sosial: Sebaliknya, media bisa memilih untuk menyoroti kisah-kisah pribadi para demonstran, perjuangan mereka, dan alasan logis di balik tuntutan mereka. Framing ini berfokus pada isu keadilan, kesenjangan, atau pelanggaran hak asasi manusia yang melatarbelakangi aksi. Narasi ini akan membangun simpati publik dan mendorong pemahaman yang lebih baik tentang tujuan demonstrasi.
Framing Hukum dan Ketertiban: Media bisa juga mengambil perspektif pemerintah atau aparat keamanan. Berita akan berfokus pada pentingnya menjaga ketertiban, langkah-langkah yang diambil untuk mengendalikan situasi, dan ancaman terhadap hukum. Opini publik yang terbentuk akan lebih cenderung mendukung tindakan represif dan memandang demonstrasi sebagai ancaman yang harus ditumpas.
Pemilihan framing ini secara tidak langsung memberi tahu audiens siapa yang harus dipandang sebagai "pahlawan" atau "penjahat" dalam sebuah peristiwa.
Gatekeeping dan Jaringan Informasi
Sebagai gatekeeper, media memiliki kekuasaan untuk memutuskan informasi apa yang sampai ke publik dan apa yang tidak. Dalam kasus demonstrasi, media bisa memilih untuk meliput demonstrasi tertentu secara masif sementara mengabaikan yang lain.
Jika sebuah demonstrasi tidak diliput, itu seolah-olah tidak pernah terjadi. Sebaliknya, jika demonstrasi diberikan porsi liputan yang berlebihan, itu bisa terlihat sebagai isu yang jauh lebih besar dan penting dari yang sebenarnya. Proses gatekeeping ini juga berlaku untuk narasumber. Media bisa memilih untuk mengutip lebih banyak pejabat, pengamat pro-pemerintah, atau tokoh yang mengkritik demonstrasi, sementara suara dari perwakilan demonstran atau para ahli yang mendukung perjuangan mereka dibatasi. Ketidakseimbangan ini jelas memengaruhi cara publik memandang isu yang diperjuangkan.
Kekuatan Visual dan Simbolisme
Dalam era digital, gambar dan video seringkali lebih kuat dari teks. Kekuatan visual sangat menentukan emosi audiens. Sebuah foto seorang demonstran yang melempar batu akan membangun narasi kekerasan, sementara foto seorang demonstran yang memberikan bunga kepada aparat akan membangun narasi damai. Media memiliki keleluasaan untuk memilih gambar yang sesuai dengan narasi yang ingin mereka sampaikan.
Simbolisme juga berperan. Jika media menampilkan spanduk yang berisi pesan-pesan provokatif atau gambar yang memperlihatkan kerusakan properti, pesan itu akan lebih melekat di ingatan publik. Sebaliknya, jika mereka menampilkan gambar yang menunjukkan solidaritas, kebersamaan, atau bahkan para demonstran yang membersihkan sampah setelah aksi, narasi positif yang akan terbentuk.
Media Sosial dan Fragmentasi Opini
Dengan munculnya media sosial, peran media arus utama sedikit bergeser, namun tidak hilang. Kini, opini publik juga dibentuk oleh algoritma media sosial yang memperkuat bias pengguna. Seseorang yang hanya mengikuti akun-akun pro-demonstran akan terus-menerus disajikan narasi yang mendukung aksi tersebut. Sebaliknya, mereka yang mengikuti akun yang anti-demonstran akan terus-menerus disuguhi narasi yang mengkritik.
Media arus utama masih memegang peran penting dalam memberikan legitimasi dan jangkauan luas. Namun, kini mereka harus bersaing dengan "media warga" yang bisa melaporkan peristiwa secara real-time dari berbagai sudut pandang. Ini bisa menjadi pedang bermata dua: memberi publik informasi yang lebih kaya, tetapi juga mempercepat penyebaran berita palsu atau informasi yang tidak terverifikasi.