Apa Itu Quiet Quitting di Dunia Kerja Modern?
Tanggal: 28 Agu 2025 14:06 wib.
Quiet quitting adalah sebuah sikap di mana seorang karyawan memilih untuk hanya melakukan pekerjaan sesuai dengan deskripsi tugasnya, tanpa mengambil inisiatif lebih, bekerja di luar jam kerja, atau menunjukkan antusiasme ekstra yang tidak diwajibkan. Ini adalah sebuah pergeseran fundamental dalam mentalitas kerja, di mana karyawan memilih untuk menarik diri dari budaya hustle culture yang seringkali menuntut lebih dari sekadar kontrak kerja.
Pergeseran Mentalitas dari Dedikasi Berlebihan
Selama bertahun-tahun, budaya kerja seringkali mengagungkan karyawan yang bekerja keras secara berlebihan. Karyawan ideal adalah mereka yang rela lembur tanpa dibayar, selalu siaga di luar jam kerja, dan terus-menerus mencari cara untuk melampaui ekspektasi. Karyawan-karyawan ini sering dipuji dan dianggap sebagai aset berharga. Namun, di balik budaya ini, banyak karyawan merasa lelah dan tidak dihargai. Mereka menyadari bahwa dedikasi berlebihan seringkali tidak sebanding dengan kompensasi, kenaikan gaji, atau promosi yang didapatkan.
Quiet quitting muncul sebagai respons langsung terhadap kelelahan ini. Ini adalah cara karyawan untuk menegaskan batasan pribadi dan profesional mereka. Mereka tidak lagi bersedia mengorbankan waktu, energi, dan kesehatan mental demi pekerjaan yang tidak memberikan imbalan sepadan. Fenomena ini tidak sama dengan malas atau tidak kompeten. Karyawan yang melakukan quiet quitting masih menjalankan tugas mereka dengan baik. Mereka tetap produktif, tetapi hanya dalam batas-batas yang telah ditentukan. Mereka menolak eksploitasi terselubung yang seringkali terjadi di lingkungan kerja modern.
Tanda-tanda Quiet Quitting dan Penyebabnya
Sikap quiet quitting bisa terlihat dari beberapa tanda. Seorang karyawan mungkin berhenti menawarkan diri untuk proyek di luar lingkup tugasnya, tidak lagi ikut serta dalam kegiatan sosial di kantor, atau menjadi kurang antusias dalam rapat tim. Mereka akan tepat waktu saat pulang, tidak peduli seberapa banyak pekerjaan yang menumpuk. Intinya, mereka memisahkan kehidupan profesional dan pribadi mereka secara ketat.
Ada beberapa faktor utama yang mendorong munculnya fenomena ini:
Kelelahan (Burnout): Pandemi COVID-19 memperparah masalah kelelahan di tempat kerja. Garis antara pekerjaan dan rumah menjadi kabur, membuat banyak orang merasa tertekan dan lelah secara mental. Quiet quitting adalah cara untuk memulihkan energi yang terkuras.
Kurangnya Apresiasi dan Kenaikan Gaji: Ketika kerja keras tidak diakui atau tidak diiringi dengan kompensasi yang layak, motivasi karyawan akan menurun. Mereka merasa upaya ekstra mereka tidak dihargai, sehingga memilih untuk hanya melakukan apa yang dibayar.
Kurangnya Peluang Pengembangan Diri: Karyawan yang merasa stagnan dalam karier mereka cenderung kehilangan semangat. Jika tidak ada jalur yang jelas untuk promosi atau pengembangan, mereka mungkin berpikir tidak ada gunanya bekerja ekstra.
Pergeseran Prioritas Generasi Muda: Generasi Z dan Milenial lebih memprioritaskan keseimbangan hidup-kerja dan kesehatan mental. Mereka melihat pekerjaan sebagai bagian dari hidup, bukan seluruh hidup mereka.
Dampak pada Perusahaan dan Budaya Kerja
Fenomena quiet quitting memiliki dampak signifikan bagi perusahaan. Jika banyak karyawan yang mengadopsi sikap ini, produktivitas secara keseluruhan bisa menurun. Inovasi juga bisa terhambat karena tidak ada lagi karyawan yang secara sukarela menyumbang ide-ide di luar jam kerja. Perusahaan mungkin kesulitan mempertahankan talenta terbaik karena karyawan yang berbakat juga bisa lelah dengan tuntutan yang tidak sehat.
Namun, alih-alih melihat quiet quitting sebagai masalah yang harus diberantas, para ahli menyarankan perusahaan untuk melihatnya sebagai sebuah cermin. Ini adalah kesempatan bagi perusahaan untuk mengevaluasi kembali budaya kerja mereka. Pertanyaan yang harus diajukan adalah:
Apakah karyawan merasa dihargai dan didukung?
Apakah kompensasi dan tunjangan yang ditawarkan sebanding dengan beban kerja?
Apakah ada jalur karier yang jelas untuk setiap karyawan?
Apakah perusahaan memprioritaskan kesehatan mental karyawan?