Psikologi di Balik Ketagihan Game dengan Sistem Gacha
Tanggal: 21 Jul 2025 10:43 wib.
game dengan sistem gacha sudah bukan hal baru, tapi daya tariknya tetap kuat, bahkan cenderung membuat banyak pemainnya ketagihan. Istilah gacha sendiri diambil dari "gashapon" di Jepang, semacam mesin kapsul mainan yang memberikan hadiah secara acak. Dalam game, sistem ini berarti pemain mengeluarkan uang atau sumber daya dalam game untuk mendapatkan item, karakter, atau kemampuan langka yang sifatnya acak. Di balik setiap putaran gacha, ada ilmu psikologi yang bekerja, mendorong kita untuk terus mencoba demi mendapatkan yang diinginkan.
Kekuatan Variable Ratio Schedule dalam Otak Manusia
Inti dari ketagihan gacha terletak pada konsep psikologi bernama variable ratio schedule atau jadwal rasio variabel. Ini adalah salah satu bentuk reinforcement schedule yang paling kuat dalam memicu perilaku berulang. Dalam jadwal ini, sebuah hadiah tidak diberikan secara konsisten setelah sejumlah percobaan tertentu, melainkan secara acak dan tidak dapat diprediksi. Pemain tidak pernah tahu kapan "putaran beruntung" berikutnya akan datang, tapi tahu bahwa item langka itu ada.
Misalnya, di mesin slot kasino, pemain menarik tuas tanpa tahu kapan akan dapat jackpot. Logika yang sama berlaku di gacha. Pemain mungkin sudah 10 kali putar dan tidak dapat apa-apa, tapi mereka tetap berpikir, "Mungkin putaran berikutnya akan berhasil!" Ketidakpastian inilah yang sangat memicu dopamin, zat kimia otak yang terkait dengan kesenangan dan motivasi. Setiap kali pemain menekan tombol gacha, ada letupan harapan yang diikuti oleh pelepasan dopamin, terlepas dari hasil akhirnya. Sensasi "hampir dapat" atau "kali ini pasti" ini membuat mereka terus mencoba, bahkan ketika peluangnya sangat kecil.
Bias Kognitif yang Memperparah Ketagihan
Selain variable ratio schedule, beberapa bias kognitif juga berperan besar dalam memperkuat ketagihan gacha.
Pertama, ada efek kepemilikan (endowment effect). Pemain yang sudah berinvestasi waktu dan uang dalam game, bahkan jika belum dapat item yang diinginkan, akan merasa sulit untuk berhenti. Mereka merasa sudah terlalu banyak mengeluarkan uang atau usaha, sehingga harus terus mencoba untuk "mengembalikan" investasi tersebut atau mendapatkan "imbalan" yang setimpal.
Kedua, bias optimisme membuat pemain selalu merasa mereka akan jadi orang yang beruntung. Mereka mungkin melihat orang lain mendapatkan karakter langka dan berpikir, "Kalau dia bisa, aku juga pasti bisa!" Padahal, probabilitasnya tetap rendah. Ini juga berkaitan dengan ilusi kontrol, di mana pemain merasa ada strategi tertentu atau "ritual" yang bisa meningkatkan peluang mereka, padahal sistem gacha murni acak.
Ketiga, FOMO (Fear Of Missing Out) atau ketakutan ketinggalan. Seringkali, item langka di gacha itu bersifat edisi terbatas atau hanya tersedia dalam waktu singkat. Ini menciptakan desakan bagi pemain untuk segera mengeluarkan uang agar tidak kehilangan kesempatan mendapatkan item tersebut, yang mungkin tidak akan muncul lagi di masa depan.
Desain Game yang Memicu Kesenangan dan Keinginan
Pengembang game gacha sangat lihai dalam memanfaatkan psikologi ini melalui desain game. Mereka menciptakan item atau karakter yang sangat menarik secara visual, dengan kekuatan yang signifikan dalam game, atau bahkan memiliki narasi cerita yang mendalam. Musik dan efek visual saat putaran gacha juga dirancang untuk memicu kegembiraan dan antisipasi. Ada kilauan cahaya, suara dramatis, dan animasi yang memukau saat pemain mendapatkan item langka, menciptakan pengalaman yang sangat memuaskan.
Selain itu, gacha seringkali diintegrasikan dengan sistem progresi dalam game. Karakter atau item langka yang didapatkan dari gacha akan membuat pemain lebih kuat, lebih mudah melewati level sulit, atau lebih unggul dalam kompetisi. Ini memberikan validasi atas investasi yang sudah dilakukan dan mendorong pemain untuk terus mencari item yang lebih kuat lagi untuk terus maju. Siklus ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.
Konsekuensi dan Cara Mengelola
Ketagihan game dengan sistem gacha bisa punya konsekuensi serius, mulai dari masalah finansial (menghabiskan tabungan atau bahkan berutang), masalah waktu (mengabaikan pekerjaan atau pendidikan), hingga masalah kesehatan mental (stres, frustrasi, atau depresi). Ini bukan sekadar hobi, tapi bisa jadi bentuk kecanduan perilaku yang memerlukan perhatian.