Sumber foto: Google

Upah Minimum Stagnan, Buruh Menjerit! Kapan Pemerintah Dengar Suara Pekerja?

Tanggal: 1 Jun 2025 15:22 wib.
Tampang.com | Ribuan buruh dari berbagai daerah kembali turun ke jalan menyuarakan tuntutan yang tak kunjung dipenuhi: kenaikan upah minimum yang layak. Di tengah melambungnya harga kebutuhan pokok, upah minimum yang stagnan selama dua tahun terakhir makin memperburuk kondisi ekonomi pekerja.

Upah Tak Bergerak, Hidup Semakin Berat

Saat biaya hidup terus merangkak naik, terutama pasca pandemi dan disusul inflasi pangan, nominal Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) justru nyaris tak bergerak. Banyak buruh mengaku harus mengambil pekerjaan sampingan atau memotong kebutuhan sehari-hari demi bertahan hidup.

“Dulu bisa makan tiga kali dengan lauk, sekarang kadang cuma dua kali dan pakai garam,” tutur Dede, buruh pabrik di Bekasi yang mengaku upahnya sudah tak mencukupi biaya sewa dan kebutuhan anak.

Inflasi vs Kenaikan Upah: Siapa Menang?

Menurut data dari berbagai serikat pekerja, laju kenaikan UMK sejak 2022 tak sebanding dengan tingkat inflasi, apalagi harga bahan pokok yang naik drastis. Ketimpangan ini menciptakan kesenjangan antara penghasilan dan pengeluaran rumah tangga pekerja, yang ujungnya memicu penurunan daya beli nasional.

“Bagaimana buruh mau produktif kalau hidupnya tertekan terus?” ujar ketua federasi buruh saat aksi unjuk rasa di depan kantor Kementerian Ketenagakerjaan.

Kebijakan Pengupahan Dinilai Tak Adil

Sistem penetapan upah minimum yang mengacu pada formula PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dinilai buruh terlalu berpihak pada pengusaha. Mereka menilai formula tersebut mengebiri hak buruh untuk mendapatkan kenaikan upah yang sesuai dengan realita ekonomi lapangan.

“Formula sekarang hanya pakai pertumbuhan ekonomi dan inflasi, tapi tidak mempertimbangkan kebutuhan hidup layak secara menyeluruh,” ujar salah satu pengamat ketenagakerjaan.

Tuntutan Kenaikan UMK 2025: Harapan atau Sekadar Angin Lalu?

Menjelang akhir tahun, pembahasan penetapan UMK 2025 sudah mulai mengemuka. Buruh di berbagai daerah mengajukan kenaikan antara 10 hingga 15 persen. Tuntutan ini dianggap realistis untuk menjaga kestabilan ekonomi rumah tangga pekerja sekaligus sebagai langkah memperbaiki struktur pengupahan nasional.

Namun, hingga kini belum ada sinyal tegas dari pemerintah pusat untuk mengakomodasi permintaan tersebut. Beberapa kepala daerah juga tampak ragu mengambil langkah berani, takut dianggap tidak ramah investor.

Dampak Sosial dari Upah yang Tak Manusiawi

Upah rendah tak hanya berdampak pada ekonomi keluarga buruh, tetapi juga bisa menciptakan ketimpangan sosial jangka panjang. Anak-anak buruh terancam putus sekolah, kualitas gizi rumah tangga menurun, dan kesehatan mental pekerja pun terganggu karena tekanan hidup yang terus membesar.

“Ini bukan hanya soal angka, tapi soal martabat dan kesejahteraan pekerja. Negara seharusnya hadir,” kata perwakilan buruh dalam forum dialog dengan legislatif.

Perlu Revisi Formula dan Komitmen Politik

Untuk menyelesaikan persoalan ini, berbagai kalangan mendesak agar pemerintah merevisi kembali formula penghitungan upah minimum dan membuka ruang dialog partisipatif dengan buruh dan pengusaha. Komitmen politik juga dibutuhkan agar keputusan pengupahan tidak hanya bersifat administratif, tapi benar-benar berpihak pada rakyat pekerja.

Selama suara buruh hanya dianggap bising tahunan, tanpa respons konkret, maka ketimpangan ekonomi akan terus melebar. Negara perlu menyadari bahwa tulang punggung pembangunan adalah pekerja, bukan semata modal.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved