Upah Minimum Masih di Bawah Kebutuhan Hidup? Buruh Desak Revisi Formula 2025
Tanggal: 13 Mei 2025 22:30 wib.
Tampang.com | Polemik penetapan upah minimum kembali mencuat jelang 2025. Kalangan buruh menyatakan bahwa formula perhitungan yang digunakan pemerintah tidak lagi relevan dengan realitas biaya hidup yang terus meningkat. Sementara di sisi lain, kalangan pengusaha mengeluhkan tekanan operasional jika upah dinaikkan terlalu tinggi.
Kesenjangan antara Upah dan Biaya Hidup
Meski upah minimum provinsi (UMP) dan kabupaten/kota (UMK) mengalami kenaikan setiap tahun, namun buruh menyebut nominalnya masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak. Di beberapa kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, selisih antara UMP dan estimasi kebutuhan hidup bisa mencapai jutaan rupiah.
“Upah minimum hanya cukup untuk hidup pas-pasan, bukan untuk hidup layak. Kenaikan harga barang jauh lebih cepat dibanding kenaikan upah,” kata Dedi Pranoto, Ketua Serikat Buruh Nasional.
Formula Penetapan Upah Dinilai Usang
Pemerintah saat ini masih menggunakan formula yang merujuk pada PP Nomor 36 Tahun 2021, dengan komponen utama pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Namun banyak pihak menilai bahwa formula ini tidak memperhitungkan faktor riil seperti sewa tempat tinggal, transportasi, hingga kebutuhan pendidikan anak.
“Formula upah minimum sudah tidak relevan. Harus ada revisi menyeluruh yang berbasis pada kebutuhan nyata masyarakat,” tambah Dedi.
Pengusaha Minta Pertimbangan Produktivitas
Sementara itu, kalangan pengusaha berharap agar kebijakan upah tetap mempertimbangkan kondisi produktivitas dan kemampuan dunia usaha pasca-pandemi. Mereka khawatir kenaikan upah yang terlalu tinggi justru berdampak negatif pada serapan tenaga kerja.
“Kenaikan upah harus realistis. Kalau tidak, perusahaan bisa gulung tikar atau memilih otomatisasi tenaga kerja,” kata Indah Lestari, Wakil Ketua Apindo.
Minimnya Dialog Sosial yang Konstruktif
Salah satu masalah utama dalam penetapan upah adalah minimnya dialog sosial yang substansial antara pemerintah, buruh, dan pengusaha. Serikat buruh sering merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan penting, sementara pemerintah dianggap hanya menjadi penengah simbolik.
“Jika suara buruh tak dianggap, maka akan muncul gelombang penolakan dan mogok nasional. Ini bukan ancaman, tapi konsekuensi dari ketidakadilan,” ujar Dedi.
Perlu Reformulasi Kebijakan yang Adil dan Adaptif
Pakar ketenagakerjaan menyarankan agar pemerintah merumuskan ulang kebijakan pengupahan dengan prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan ekonomi. Skema penyesuaian bisa dilakukan dengan mempertimbangkan perbedaan biaya hidup antarwilayah, sektor industri, dan produktivitas riil tenaga kerja.
“Negara harus hadir untuk menyeimbangkan kebutuhan pekerja dan kemampuan pengusaha. Bukan sekadar angka kompromi, tapi solusi yang berpihak pada kesejahteraan bersama,” jelas Lilis Hartati, dosen ekonomi ketenagakerjaan Universitas Padjadjaran.
Konsekuensi Politik dan Ekonomi Jika Diabaikan
Jika isu pengupahan ini terus dibiarkan tanpa solusi konkret, tidak hanya sektor ketenagakerjaan yang terganggu, tapi juga stabilitas sosial dan ekonomi nasional. Demonstrasi besar, penurunan produktivitas, dan ketegangan sosial bisa menjadi efek domino.
“Upah minimum bukan sekadar angka ekonomi, tapi indikator moral dan keadilan dalam sistem kerja kita,” tutup Lilis.