UMKM Indonesia di Tengah Kenaikan Inflasi, Haruskah Bertahan atau Tutup?
Tanggal: 10 Mei 2025 06:54 wib.
Tampang.com | Sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia tengah menghadapi tantangan berat di tengah meningkatnya inflasi. Biaya bahan baku yang semakin mahal, daya beli masyarakat yang tergerus, dan kenaikan suku bunga kredit membuat UMKM semakin terjepit. Bagaimana masa depan UMKM di tengah ketidakpastian ekonomi ini?
Inflasi Membebani UMKM
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa inflasi Indonesia pada awal 2025 mencapai 5,2%, angka tertinggi dalam lima tahun terakhir. Dampaknya sangat terasa bagi UMKM, yang sebagian besar mengandalkan bahan baku impor atau barang dengan harga yang sensitif terhadap inflasi.
“Sejak inflasi naik, bahan baku utama saya, seperti tepung dan minyak, harganya naik hampir 20%. Sementara itu, harga jual produk tetap karena daya beli konsumen turun,” ujar Dwi Susanto, pemilik usaha roti di Bandung.
Kenaikan Harga Bahan Baku dan Daya Beli Menurun
Salah satu masalah besar bagi UMKM adalah daya beli masyarakat yang menurun seiring dengan inflasi. Banyak konsumen kini lebih selektif dalam berbelanja, mengurangi pengeluaran untuk produk non-pokok.
"Pendapatan kami turun sekitar 30% dalam tiga bulan terakhir. Pembeli semakin jarang datang, apalagi untuk barang-barang premium atau produk jadi," kata Lili Setiawan, pemilik toko pakaian di Jakarta.
Sulitnya Akses Pembiayaan
Selain itu, kenaikan suku bunga kredit yang dipicu oleh inflasi semakin menyulitkan UMKM untuk mendapatkan pembiayaan. Banyak pelaku usaha yang mengandalkan pinjaman untuk bertahan, namun sekarang bunga yang lebih tinggi membuat biaya operasional semakin besar.
“Dulu kami bisa pinjam modal dengan bunga 6%, sekarang sudah naik ke 8% bahkan 10%. Ini sangat memberatkan bagi usaha kecil yang baru bangkit setelah pandemi,” jelas Agus Prasetyo, seorang pengusaha katering di Yogyakarta.
Tantangan Pemerintah dalam Menyokong UMKM
Meski pemerintah telah meluncurkan berbagai program bantuan, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), realisasi bantuan sering kali terlambat, dan banyak pelaku UMKM kesulitan memenuhi syarat yang ditetapkan.
“Program pemerintah seperti KUR memang ada, tapi prosesnya lama dan banyak dokumen yang harus dipenuhi. Sementara kami butuh uang cepat untuk tetap bertahan,” ungkap Dwi.
Solusi: Adaptasi atau Menutup Usaha?
Menurut ekonom dari Universitas Indonesia, Dr. Fajar Alam, UMKM harus cepat beradaptasi dengan kondisi pasar yang berubah. Menggunakan teknologi digital untuk memasarkan produk dan mengoptimalkan efisiensi operasional bisa menjadi kunci bertahan.
“UMKM yang tidak mau beradaptasi dengan teknologi atau yang tidak punya keunggulan kompetitif, mungkin akan kesulitan. Namun, yang inovatif dan dapat memanfaatkan e-commerce, akan punya peluang lebih besar untuk bertahan,” jelas Dr. Fajar.
Mengalihkan Fokus ke Pasar Lokal dan Produk Unik
Pelaku UMKM bisa mempertimbangkan untuk mengalihkan fokus mereka pada pasar lokal, yang cenderung lebih sensitif terhadap harga, atau menciptakan produk-produk yang lebih unik dan berbeda dari pesaing. Dengan menawarkan produk berkualitas dengan harga terjangkau, UMKM bisa mempertahankan daya tarik meskipun kondisi ekonomi tidak mendukung.
“Ketimbang mengandalkan pasar luar, saya lebih fokus ke pasar lokal dan membuat produk yang lebih sesuai dengan kebutuhan mereka. Misalnya, membuat paket makanan dengan porsi lebih kecil dan harga lebih terjangkau,” ujar Dwi, yang kini fokus pada pelanggan lokal.
Tantangan yang Perlu Disikapi Bersama
Sementara itu, Dr. Fajar menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah, lembaga keuangan, dan pelaku UMKM dalam menghadapi tantangan ekonomi ini.
“Pemerintah perlu mempercepat distribusi bantuan, sedangkan lembaga keuangan harus lebih fleksibel dalam memberikan pinjaman. UMKM juga harus lebih proaktif dalam mencari solusi inovatif,” tegas Dr. Fajar.