Trik Licik Bisnis yang Sering Dilakukan di Media Sosial
Tanggal: 1 Sep 2025 14:05 wib.
Media sosial telah menjadi lahan subur bagi pertumbuhan bisnis, dari usaha kecil hingga korporasi besar. Kemudahan berpromosi dan menjangkau audiens luas, ada pula sisi gelap yang perlu diwaspadai. Beberapa pelaku bisnis menggunakan trik-trik yang licik dan tidak etis untuk menarik perhatian, menggaet pembeli, bahkan memanipulasi opini.
Memanfaatkan FOMO dan Keterbatasan Palsu
Salah satu taktik paling umum di media sosial adalah menciptakan Fear of Missing Out (FOMO) atau ketakutan ketinggalan. Pelaku bisnis akan sering menggunakan frasa seperti "Diskon hanya 24 jam!" atau "Stok terbatas, sisa 5!" padahal stok yang tersedia sangat banyak atau diskon tersebut akan terus diperpanjang. Tujuannya adalah untuk memicu pembelian impulsif tanpa memberi konsumen waktu berpikir. Keterbatasan yang dipalsukan ini membuat konsumen merasa harus segera bertindak agar tidak kehilangan kesempatan "langka."
Mereka juga sering memanfaatkan countdown timer di Instagram Story atau live shopping untuk memberikan kesan urgensi. Meskipun tidak semua penggunaan trik ini buruk, kebohongan tentang ketersediaan produk atau waktu diskon adalah trik licik yang mengeksploitasi psikologi konsumen demi keuntungan pribadi.
Menggunakan Testimoni Palsu dan Manipulasi Bukti Sosial
Dalam era digital, testimoni dari pembeli lain adalah social proof yang sangat kuat. Namun, ada banyak bisnis yang menggunakan testimoni palsu. Mereka bisa membelinya dari jasa pembuat testimoni, mengambil foto atau ulasan dari akun orang lain tanpa izin, atau bahkan membuat akun palsu untuk memberikan ulasan positif pada produk mereka sendiri.
Selain testimoni, pelaku bisnis licik juga bisa memanipulasi angka-angka di media sosial. Mereka membeli followers, likes, atau views agar akun mereka terlihat populer dan terpercaya. Tujuannya adalah untuk menciptakan ilusi bahwa produk atau layanan mereka diminati banyak orang. Padahal, angka-angka itu tidak mencerminkan audiens yang sesungguhnya. Konsumen yang melihat akun dengan ratusan ribu pengikut cenderung lebih mudah percaya, padahal kredibilitasnya nol.
Penipuan Berkedok Giveaway dan Challenge
Giveaway adalah strategi pemasaran yang efektif, tetapi beberapa bisnis menggunakannya sebagai jebakan. Mereka mengumumkan giveaway besar dengan syarat yang banyak, seperti harus follow akun, like semua postingan, share ke banyak teman, dan lain-lain. Setelah semua syarat terpenuhi, pengumuman pemenang tidak pernah ada atau pemenangnya adalah akun palsu yang mereka kelola.
Tujuan utama dari giveaway palsu ini bukan untuk memberi hadiah, melainkan untuk meningkatkan metrik akun mereka dengan cepat, seperti jumlah followers dan engagement. Setelah tujuan tercapai, mereka akan kembali ke mode bisnis normal, meninggalkan ribuan orang yang berharap. Praktik ini sangat merugikan dan membangun ketidakpercayaan di komunitas online.
Menjual Produk dengan Klaim Berlebihan dan Tanpa Dasar
Di media sosial, janji-janji manis seringkali lebih mudah dijual daripada bukti. Banyak bisnis yang menjual produk dengan klaim yang berlebihan, terutama di bidang kecantikan, kesehatan, atau suplemen. Mereka mungkin mengklaim produk bisa menyembuhkan penyakit tertentu, membuat kulit putih dalam seminggu, atau menurunkan berat badan tanpa olahraga, padahal klaim-klaim tersebut tidak didukung oleh bukti ilmiah yang valid.
Alih-alih menyertakan bukti ilmiah atau sertifikasi, mereka lebih mengandalkan foto atau video "sebelum dan sesudah" yang bisa saja dimanipulasi dengan pencahayaan atau filter. Mereka mengeksploitasi keinginan audiens untuk mendapatkan hasil instan, menjual harapan palsu yang tidak pernah terwujud.
Menggunakan Scarcity Marketing yang Menyesatkan
Konsep scarcity marketing (pemasaran kelangkaan) adalah taktik yang memanfaatkan prinsip bahwa orang cenderung menginginkan sesuatu yang sulit didapat. Namun, trik licik memanipulasi ini dengan menciptakan kelangkaan buatan. Misalnya, sebuah produk dikatakan hanya tersedia dalam jumlah sangat terbatas padahal itu tidak benar. Contoh lain adalah menjual produk dengan "harga promo" yang ternyata sama dengan harga normal, atau bahkan lebih mahal, hanya dengan mengubah label harga aslinya.
Trik ini mendorong konsumen untuk membeli dengan cepat karena takut kehabisan. Mereka tidak punya waktu untuk membandingkan harga atau mempertimbangkan apakah produk itu benar-benar dibutuhkan. Praktik ini merusak kepercayaan konsumen dan menciptakan ekosistem bisnis yang tidak sehat.