Temu & Shein Terpukul di AS dan Diblokir di Indonesia: Akankah Dua Raksasa China Ini Bertahan di Tengah Gempuran Global?
Tanggal: 30 Jun 2025 22:15 wib.
Dua nama besar dalam dunia e-commerce global, Temu dan Shein, tengah menghadapi badai besar yang mengancam kelangsungan bisnis mereka di berbagai negara. Sempat menikmati masa kejayaan dengan strategi penjualan barang murah langsung dari pabrik ke konsumen tanpa perantara, kini keduanya mengalami tekanan serius dari pemerintah di berbagai wilayah, termasuk Indonesia dan Amerika Serikat.
Di Indonesia, langkah tegas diambil pemerintah dengan memblokir akses Temu dan Shein, sebagai bentuk perlindungan terhadap pelaku UMKM lokal yang kian terjepit oleh masuknya produk murah dari luar negeri. Model bisnis direct-to-consumer yang mereka terapkan memang membuat harga barang sangat kompetitif, namun di sisi lain, hal itu menimbulkan kekhawatiran akan matinya pasar produk lokal.
Namun, permasalahan Temu dan Shein tak hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat, Presiden Donald Trump mengeluarkan kebijakan baru yang disebut-sebut menjadi "pukulan telak" bagi dua e-commerce asal Tiongkok tersebut. Trump secara resmi mencabut kebijakan de minimis, yakni aturan yang selama ini memungkinkan barang impor dengan nilai di bawah US$800 (sekitar Rp12,9 juta) bebas dari bea masuk.
Kebijakan de minimis merupakan kunci penting bagi keberhasilan Temu dan Shein di pasar AS. Dengan penghapusan aturan ini, produk mereka tak lagi bisa dijual semurah sebelumnya. Bahkan, Trump mengganti skema tersebut dengan tarif tinggi sebesar 90%, meski kemudian dikurangi menjadi 30% sebagai bagian dari de-eskalasi hubungan dagang dengan China.
Perubahan kebijakan ini memberikan dampak instan dan signifikan. Berdasarkan laporan dari Sensor Tower, jumlah pengguna aktif bulanan (MAU) Temu di Amerika Serikat merosot tajam hingga 51%, dari sebelumnya 82 juta menjadi hanya 40,2 juta pengguna dalam periode Maret hingga Juni 2025.
Shein, meski penurunannya tak se-ekstrem Temu, tetap mengalami dampak negatif. MAU-nya di AS tercatat turun 12%, menjadi 41,4 juta pengguna di periode yang sama. Penurunan ini menunjukkan tekanan besar yang dihadapi keduanya dalam mempertahankan daya saing tanpa lagi bisa mengandalkan strategi harga murah.
Selain tekanan regulasi, faktor lain yang memperburuk situasi adalah pemangkasan besar-besaran pada anggaran iklan digital oleh kedua perusahaan. Sensor Tower mencatat bahwa dalam tiga bulan terakhir, belanja iklan digital Temu menyusut 87%, sementara Shein mengurangi hingga 69% dibandingkan kuartal sebelumnya.
Padahal, tahun lalu Temu dan Shein termasuk dalam 10 besar perusahaan pengiklan terbesar di AS, masing-masing berada di posisi 10 dan 11. Kini, keduanya bahkan tidak masuk dalam daftar Top 60 pengiklan terbesar, menandakan perubahan strategi yang drastis sekaligus tantangan serius dalam mempertahankan eksistensi merek di benak konsumen.
Dengan pasar AS yang kian menyempit, Temu dan Shein mulai mengalihkan fokus ekspansi ke kawasan Eropa. Menurut Sensor Tower, pengguna Temu di Prancis melonjak 76%, di Spanyol naik 71%, dan di Jerman tumbuh 64% sepanjang Juni 2025. Sementara itu, Shein juga menunjukkan tren positif, dengan kenaikan pengguna antara 13% hingga 20% di Inggris, Jerman, dan Prancis.
Namun, Eropa bukanlah pasar yang sepenuhnya aman. Pemerintah Uni Eropa tengah mengkaji kebijakan baru berupa biaya tambahan sebesar 2 euro (sekitar Rp38.000) untuk setiap paket kecil yang masuk ke wilayah mereka. Langkah ini diyakini sebagai bentuk perlindungan terhadap pelaku e-commerce lokal dan penjual kecil di kawasan Eropa.
Di sisi lain, pemerintah Inggris juga disebut sedang mempertimbangkan untuk menghapus skema pembebasan bea masuk bagi barang impor bernilai rendah, mengikuti jejak AS. Jika kebijakan ini benar-benar diterapkan, maka strategi harga murah Temu dan Shein kembali akan menemui jalan buntu.
Secara keseluruhan, masa depan Temu dan Shein tampak semakin menantang. Setelah diblokir di Indonesia, mereka kini menghadapi pembatasan ketat di Amerika Serikat dan potensi hambatan di Eropa. Strategi yang sebelumnya menjadi kekuatan utama mereka—harga murah lewat pengiriman langsung dari pabrik—tampaknya mulai kehilangan relevansinya di tengah meningkatnya proteksionisme dan kebijakan ekonomi digital yang lebih ketat di berbagai negara.
Di tengah perubahan ini, yang menjadi pertanyaan besar adalah: apakah Temu dan Shein mampu bertahan dan beradaptasi? Mampukah mereka menemukan model bisnis baru yang tetap kompetitif namun sesuai dengan regulasi lokal di tiap pasar?
Yang pasti, kejayaan e-commerce murah dari China kini berada di persimpangan jalan. Mereka dituntut untuk tidak hanya menjual barang murah, tapi juga membuktikan kontribusi terhadap ekosistem digital lokal, perlindungan konsumen, dan praktik bisnis yang berkelanjutan.