Temu Dilarang di Indonesia: Ancaman bagi UMKM dan Penurunan Laba PDD Holdings
Tanggal: 8 Jun 2025 17:11 wib.
Pemerintah Indonesia secara resmi melarang operasi aplikasi e-commerce Temu, platform belanja daring asal China yang berada di bawah naungan PDD Holdings. Alasannya? Temu dinilai membawa dampak serius bagi keberlangsungan UMKM lokal karena sistem distribusi barangnya yang sangat efisien—langsung dari produsen ke konsumen—tanpa melibatkan distributor, agen, maupun toko retail. Ini menyebabkan harga jual barang di Temu sangat murah dan merusak keseimbangan pasar tradisional.
Tak hanya menghadapi masalah di Indonesia, nasib PDD Holdings sebagai induk perusahaan Temu juga sedang berada di ujung tanduk di negara asalnya sendiri, Tiongkok. Setelah sempat menjadi raja e-commerce dan berhasil melakukan ekspansi ke pasar global, kini perusahaan itu justru mengalami penurunan drastis dalam laba dan nilai saham.
Murahnya Barang di Temu: Efisien Tapi Membunuh UMKM?
Model bisnis Temu memang efisien dan menarik bagi konsumen karena barang bisa dijual langsung dari pabrik di China ke tangan pembeli di Indonesia tanpa harus melalui berbagai lapisan distribusi. Sayangnya, efisiensi ini menjadi bumerang. Barang-barang di Temu dijual dengan harga jauh lebih rendah dari harga pasaran UMKM lokal, sehingga produk lokal kalah bersaing. Pemerintah pun menilai kehadiran Temu sebagai ancaman nyata terhadap ekonomi kerakyatan.
Larangan ini juga mencerminkan keberpihakan Indonesia terhadap pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Di tengah upaya digitalisasi UMKM, kehadiran platform raksasa asing yang membanjiri pasar dengan produk ultra murah tentu dapat mematikan semangat pelaku lokal.
PDD Holdings: Raja E-Commerce yang Mulai Runtuh
Tidak hanya menghadapi tekanan dari pemerintah Indonesia, PDD Holdings juga mencatat penurunan kinerja keuangan signifikan pada kuartal pertama tahun 2025. Berdasarkan laporan keuangan resmi, laba bersih perusahaan anjlok 47% menjadi hanya 14,74 miliar yuan atau sekitar Rp 33,3 triliun.
Menurut analis dari US Tiger Securities, Bo Pei, penurunan ini tidak lepas dari persaingan ketat di dalam negeri serta ketidakpastian perdagangan global. Ia menyebutkan bahwa pertumbuhan konsumsi di Tiongkok yang melambat, meningkatnya tekanan kompetitif, serta eskalasi perang dagang menjadi beban berat bagi PDD Holdings.
Persaingan Ketat dengan Alibaba & JD.com
Di pasar domestik Tiongkok, PDD harus bersaing dengan dua nama besar lainnya: Alibaba dan JD.com. Ketiganya terlibat dalam perang harga besar-besaran demi menarik konsumen. Perang harga ini tentu berdampak pada margin keuntungan setiap perusahaan dan membuat iklim bisnis semakin keras.
Namun ironisnya, nasib para pesaing pun tak lebih baik. Alibaba dilaporkan gagal mencapai target pendapatan kuartalan, sedangkan JD.com berhasil sedikit unggul berkat strategi tukar-tambah produk yang memikat konsumen.
Pasar Internasional: Temu Terjepit di Tengah Perang Dagang
Nasib Temu di pasar internasional pun tidak kalah sulit. Dalam beberapa bulan terakhir, perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok memberikan tekanan luar biasa terhadap operasional platform ini. Temu bahkan harus menarik diri dari sebagian besar penjual asal China yang sebelumnya aktif menjual di platform mereka untuk pasar AS.
Situasi ini memaksa Temu untuk membatasi penjual hanya dari kawasan Amerika atau mereka yang bisa menghindari tarif tambahan yang diberlakukan oleh Presiden AS saat itu, Donald Trump.
Tarif ‘De Minimis’ yang Berubah-ubah
Kategori 'de minimis' menjadi pusat perdebatan. Barang yang termasuk dalam kategori ini—yaitu barang berukuran kecil dan berharga rendah—biasanya dibebaskan dari bea masuk jika nilainya tidak melebihi US$800 (sekitar Rp 13 juta). Namun dalam eskalasi perang dagang, tarif baru dikenakan, bahkan sempat mencapai 120%.
Kebijakan ini membuat banyak pedagang China mengalami kerugian besar karena harus mengatur ulang strategi penjualan. Untungnya, kebijakan ini kemudian direvisi oleh Trump, di mana tarif dikurangi menjadi 54% khusus untuk barang dengan nilai di bawah US$100 (sekitar Rp 1,6 juta). Meski demikian, hal ini tetap meninggalkan ketidakpastian besar bagi ekosistem e-commerce lintas negara.
Tekanan Global dan Tantangan Regulasi
Ketegangan dagang bukanlah satu-satunya masalah. PDD juga menghadapi perubahan regulasi dan tekanan kebijakan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Di tengah gejolak pasar global dan krisis geopolitik, strategi ekspansi PDD tampaknya perlu direvisi secara menyeluruh. Co-CEO PDD, Chen Lei, bahkan menyatakan bahwa perubahan kebijakan eksternal seperti tarif telah menciptakan tekanan besar bagi merchant mereka.
Ini menjadi pelajaran penting bahwa ekspansi global tanpa strategi lokal yang matang bisa berbalik menjadi boomerang, apalagi bila model bisnis dianggap merugikan ekosistem ekonomi setempat.