Sumbang PDB Besar, Tapi Menyisakan Luka Lingkungan: Tambang Jadi ‘Raksasa Baru’ Ekonomi RI
Tanggal: 15 Nov 2025 06:04 wib.
Sektor pertambangan kembali menjadi sorotan setelah data terbaru menunjukkan bahwa industri ini menempati posisi kelima sebagai penyumbang terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Capaian tersebut menempatkan tambang sejajar dengan sektor-sektor strategis lain seperti manufaktur, perdagangan, dan konstruksi. Meski demikian, kontribusi besar ini juga dibarengi dengan kritik soal keberlanjutan, dampak ekologis, dan kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah operasi tambang.
Laporan ekonomi nasional yang dirilis pemerintah memperlihatkan bahwa kontribusi sektor pertambangan berada pada kisaran yang signifikan, didorong oleh tingginya permintaan global terhadap komoditas seperti batu bara, nikel, emas, tembaga, dan bauksit. Kenaikan harga komoditas di pasar internasional membuat kinerja ekspor Indonesia melonjak, sekaligus mempertebal porsi pertambangan dalam struktur PDB nasional.
Dalam beberapa tahun terakhir, mineral terutama nikel menjadi primadona baru yang mendorong geliat investasi asing. Masuknya investor besar dalam proyek smelter dan ekosistem baterai kendaraan listrik membuat sektor ini tidak lagi dilihat hanya sebagai penyedia bahan mentah, tetapi juga sebagai pintu masuk menuju industri hilirisasi bernilai tinggi. Pemerintah menegaskan bahwa transformasi ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang untuk memperkuat daya saing ekonomi nasional di tengah percepatan transisi energi global.
Meski demikian, capaian tersebut tidak datang tanpa harga. Di sejumlah daerah, masyarakat menilai bahwa tingginya kontribusi tambang terhadap PDB tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan di tingkat lokal. Banyak daerah penghasil tambang justru masih menghadapi persoalan klasik seperti ketimpangan pendapatan, kerusakan lingkungan, minimnya akses infrastruktur, serta permasalahan kesehatan akibat aktivitas industri ekstraktif.
Aktivis lingkungan menegaskan bahwa status tambang sebagai salah satu sektor terbesar dalam PDB seharusnya menjadi momentum untuk mengevaluasi ulang praktik-praktik pertambangan yang tidak berkelanjutan. Mereka menilai bahwa eksploitasi yang masif, terutama di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, telah mengakibatkan deforestasi, pencemaran air, hingga bencana ekologis seperti banjir bandang dan tanah longsor.
Di beberapa wilayah, konflik agraria juga muncul akibat tumpang tindih izin tambang dengan lahan masyarakat adat maupun kawasan konservasi. Sekalipun pemerintah terus melakukan penataan regulasi dan penegakan hukum, sejumlah pengamat menyebut bahwa tantangan terbesar justru terletak pada pengawasan di lapangan. Izin yang sudah diberikan seringkali tidak diikuti dengan kepatuhan terhadap standar lingkungan dan sosial, sementara sanksi terhadap pelanggaran dinilai masih kurang memberikan efek jera.
Di sisi lain, pemerintah berargumen bahwa kebijakan hilirisasi yang sedang digenjot akan membawa nilai tambah yang lebih besar bagi perekonomian lokal. Pembangunan smelter, misalnya, diyakini akan membuka lapangan kerja yang lebih banyak serta memperkuat basis industri nasional. Selain itu, sektor tambang juga dianggap memiliki peran strategis dalam menopang pembangunan infrastruktur dan transisi energi, mengingat tingginya kebutuhan mineral kritis untuk kendaraan listrik, panel surya, dan teknologi baterai masa depan.
Ekonom menilai bahwa dominasi sektor tambang dalam PDB bukanlah sesuatu yang mengejutkan, mengingat Indonesia memiliki cadangan mineral yang sangat besar dan menjadi salah satu pemain kunci di pasar global. Namun, mereka mengingatkan bahwa ketergantungan yang terlalu besar pada sektor ekstraktif dapat membuat ekonomi rentan terhadap fluktuasi harga komoditas dunia. Karena itu, meski pertambangan berkontribusi besar, sektor ini tetap tidak boleh menjadi tumpuan utama pembangunan jangka panjang.
Beberapa ahli juga menekankan pentingnya diversifikasi ekonomi daerah penghasil tambang agar tidak terjebak dalam "kutukan sumber daya alam". Penguatan sektor pariwisata, pertanian modern, manufaktur, dan ekonomi kreatif dinilai dapat menjadi solusi untuk menciptakan pembangunan yang lebih merata dan berkelanjutan. Selain itu, peningkatan transparansi dalam tata kelola pertambangan, termasuk penggunaan teknologi digital untuk monitoring, diyakini dapat memperkecil peluang terjadinya pelanggaran.
Pemerintah menegaskan komitmennya untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Penerapan prinsip ESG (Environmental, Social, Governance) kini diwajibkan dalam aktivitas pertambangan, dan perusahaan yang tidak memenuhi standar disebut akan menghadapi pengetatan izin hingga sanksi administratif. Namun publik menilai bahwa efektivitas kebijakan ini masih perlu dibuktikan di lapangan.
Kontribusi pertambangan sebagai sektor terbesar kelima penyumbang PDB memang menunjukkan bahwa industri ekstraktif memegang peran besar dalam mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, pertanyaan yang masih menggantung adalah: apakah pertumbuhan tersebut dapat berlangsung tanpa mengorbankan keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial?
Selama berbagai persoalan di lapangan belum ditangani secara komprehensif, kontribusi besar tambang akan terus menjadi paradoks: di satu sisi membanggakan, di sisi lain menyisakan luka yang belum sembuh. Di tengah dorongan untuk menjadi raksasa ekonomi baru di Asia Tenggara, Indonesia perlu memastikan bahwa kejayaan tambang tidak hanya terlihat dalam angka PDB, tetapi juga dirasakan oleh masyarakat dan tetap berpihak pada masa depan lingkungan.