Sumber foto: Google

Subsidi Dipangkas, Pajak Naik, Daya Beli Masyarakat Kian Tertekan!

Tanggal: 13 Mei 2025 23:51 wib.
Tampang.com | Dalam dua tahun terakhir, pemerintah Indonesia gencar melakukan penyesuaian fiskal: menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN), menghapus beberapa subsidi energi, hingga merombak skema bantuan sosial. Di sisi lain, harga kebutuhan pokok terus melonjak. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah, yang merasakan dampak langsung dari kebijakan tersebut.

Subsidi Energi Menyusut, Beban Hidup Bertambah

Pemangkasan subsidi BBM dan listrik membuat harga energi naik signifikan. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah hingga menengah, hal ini berdampak langsung pada pengeluaran harian. Biaya transportasi, produksi usaha kecil, hingga tarif listrik rumah tangga mengalami lonjakan.

“Dulu saya bisa isi bensin Rp50 ribu untuk dua hari, sekarang cuma cukup satu hari,” keluh Darto, seorang pengemudi ojek daring di Tangerang.

Kebijakan pencabutan subsidi dinilai tidak dibarengi dengan perlindungan yang memadai bagi masyarakat rentan. Bantuan langsung tunai (BLT) yang diberikan seringkali tidak sebanding dengan besarnya beban baru yang muncul akibat kenaikan harga energi.

Kenaikan Pajak yang Menggerus Konsumsi

Pemerintah menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11% dan berencana menaikkannya lagi menjadi 12% dalam waktu dekat. Hal ini secara langsung berdampak pada harga barang konsumsi dan jasa, memukul daya beli masyarakat yang sudah tertekan pasca pandemi.

“PPN naik artinya semua harga naik. Yang terdampak paling besar justru rumah tangga dengan penghasilan menengah ke bawah,” ujar Rini, ekonom dari LPEM UI.

Bagi banyak warga, pendapatan tidak naik signifikan, sementara pengeluaran terus meningkat. Akibatnya, konsumsi rumah tangga sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia justru melemah.

Kebijakan Tidak Sinkron dengan Realitas Sosial

Para pengamat menyebut bahwa arah kebijakan fiskal Indonesia cenderung berpihak pada kestabilan makro ekonomi, tapi abai terhadap realitas mikro di lapangan. Target defisit rendah dan penerimaan negara tinggi memang penting, namun jika dilakukan dengan menekan rakyat kecil, maka efek domino sosialnya akan luas.

“Keseimbangan fiskal tidak boleh dibangun dengan mengorbankan kesejahteraan rakyat,” tegas Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS. “Tanpa proteksi sosial yang memadai, kebijakan seperti ini hanya akan memperlebar kesenjangan.”

Solusi: Reorientasi Fiskal ke Arah Pro-Rakyat

Sejumlah ekonom menyerukan agar pemerintah meninjau ulang prioritas fiskalnya. Ketimbang memperbesar penerimaan lewat pajak konsumsi, pemerintah seharusnya mengejar optimalisasi pajak dari kelompok superkaya dan sektor digital besar.

Selain itu, subsidi tidak boleh dihapus tanpa ada pengganti yang lebih efektif. Subsidi terarah berbasis data, peningkatan belanja untuk pendidikan dan kesehatan, serta dukungan bagi UMKM harus menjadi pilar utama.

“Pemerintah perlu realokasi anggaran yang adil. Fokus pada pembangunan manusia dan daya beli, bukan hanya angka pertumbuhan,” tambah Bhima.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved