Sumber foto: Jawapos.com

Sri Mulyani Menolak Target Rasio Pajak 23% Milik Prabowo

Tanggal: 14 Jun 2024 11:11 wib.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengekspresikan ketidaksetujuannya terhadap usulan untuk menetapkan target rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 23 persen pada tahun 2025. Rencana ini merupakan bagian dari janji dari Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, yang juga mencakup pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN).

Dalam rapat kerja bersama Komisi XI yang diselenggarakan beberapa waktu lalu, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sedang fokus pada reformasi, termasuk upaya-upaya seperti integrasi teknologi, penguatan sistem pajak, dan peningkatan rasio pajak. Namun, ia menegaskan bahwa target spesifik seperti rasio 23 persen tersebut sebaiknya dihindari agar tidak menimbulkan kesalahpahaman yang dapat memberikan beban bagi menteri keuangan di masa mendatang.

Sebagai gambaran, pemerintah telah menetapkan target rasio pajak sebesar 10,09-10,29 persen terhadap PDB untuk tahun depan melalui Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025. Sri Mulyani telah menyatakan keprihatinannya bahwa penentuan target rasio 23 persen dapat menimbulkan kesan bahwa sudah ada roadmap yang akan dibahas kembali pada nota keuangan tahun 2025.

Alasan di balik penolakan ini adalah untuk mencegah potensi kesalahpahaman yang dapat menjadi beban di masa mendatang. Sri Mulyani tidak ingin agar target rasio pajak sebesar 23 persen menimbulkan tekanan bagi menteri keuangan yang akan datang, sehingga menunjukkan kehati-hatian dalam menetapkan target yang terlalu ambisius.

Pada intinya, penolakan Sri Mulyani terhadap target rasio pajak 23 persen merupakan ekspresi kehati-hatian dan pertimbangan atas kesejahteraan keuangan negara yang berkelanjutan dan tidak memberatkan pemerintah di masa mendatang.

Dalam konteks ini, Sri Mulyani memberikan perhatian yang tulus terhadap keberlanjutan pembangunan ekonomi Indonesia dengan mengakui bahwa reformasi perpajakan adalah suatu keharusan. Namun, pengenaan target rasio pajak yang terlalu tinggi dapat menimbulkan tekanan yang tidak perlu.

Perlu diingat bahwa keberhasilan reformasi perpajakan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Hal ini mencakup integrasi teknologi, penguatan sistem pajak, serta peningkatan rasio pajak secara bertahap. Oleh karena itu, Sri Mulyani menekankan bahwa fokus utama saat ini adalah pada proses reformasi, bukan pada penetapan target rasio pajak yang terlalu ambisius.

Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa pembangunan ekonomi yang berkelanjutan memerlukan kesinambungan dan kesungguhan dalam upaya reformasi. Dengan demikian, penolakan Sri Mulyani terhadap target rasio 23 persen telah disertai dengan pemikiran yang matang atas keberlanjutan pembangunan ekonomi Indonesia.

Lebih lanjut, Sri Mulyani menegaskan bahwa pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) perlu dilakukan dengan kehati-hatian yang sama. Pengawasan yang ketat dan evaluasi yang cermat diperlukan untuk memastikan bahwa pendapatan negara dapat dioptimalkan tanpa menimbulkan tekanan yang berlebihan bagi kontributor pajak dan perekonomian secara umum.

Dengan demikian, penolakan Sri Mulyani terhadap target rasio pajak 23 persen menunjukkan kebijaksanaan dan keprihatinan yang mendalam terhadap kesejahteraan ekonomi Indonesia. Kesinambungan reformasi pajak yang berkelanjutan merupakan langkah yang sangat dibutuhkan untuk memastikan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi negara.

Dalam konteks ini, penolakan Sri Mulyani tidak hanya merupakan respons terhadap usulan yang spesifik, tetapi juga mencerminkan visi yang jauh ke depan tentang keberlanjutan ekonomi Indonesia. Dengan demikian, penolakan ini memperlihatkan bahwa kebijakan ekonomi negara diurus dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian demi mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved