Serangan Siber Terus Meningkat, Apakah Data Pribadi Kita Masih Aman?
Tanggal: 10 Mei 2025 11:56 wib.
Tampang.com | Keamanan data publik kembali menjadi sorotan setelah sejumlah layanan pemerintah dan lembaga swasta di Indonesia kembali diserang oleh peretas sepanjang awal 2025. Dari situs kementerian, layanan pendidikan, hingga sistem rumah sakit digital, semua menjadi target empuk. Pertanyaannya, apakah data pribadi kita benar-benar aman?
Kebocoran Terus Terulang, Tapi Perlindungan Masih Lemah
Sepanjang kuartal pertama 2025, tercatat lebih dari 25 insiden kebocoran data yang melibatkan jutaan akun warga. Kasus-kasus ini sering kali tak direspons dengan transparan, bahkan sebagian besar tanpa kejelasan tindak lanjut hukum.
“Indonesia darurat siber. Tapi sayangnya, infrastruktur dan regulasi kita masih tertinggal,” kata Irwan Syahputra, pakar keamanan digital dari ICT Watch.
Target Utama: Layanan Pemerintah dan Institusi Strategis
Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mengakui bahwa sebagian besar serangan menyasar data di sektor publik, termasuk layanan e-KTP, BPJS, dan portal pendidikan. Para pelaku bukan hanya peretas lokal, tapi juga sindikat internasional.
“Kalau sektor strategis saja bisa dijebol, maka jangan heran kalau masyarakat tak lagi percaya sistem digital pemerintah,” ujar Irwan.
Regulasi Sudah Ada, Tapi Tak Digigit
UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang telah disahkan pada 2022 dinilai belum berdampak signifikan. Banyak lembaga belum memiliki sistem audit keamanan, dan sanksi atas kelalaian masih jarang ditegakkan.
“Tanpa sanksi tegas, maka kebocoran data hanya jadi berita sesaat—lalu dilupakan,” tegas Irwan.
Risiko Nyata: Penipuan, Pemerasan, hingga Manipulasi Politik
Kebocoran data tak lagi soal privasi, tapi ancaman terhadap keamanan sosial. Data pribadi bisa digunakan untuk penipuan pinjol, manipulasi identitas, hingga rekayasa opini politik melalui media sosial.
“Data adalah senjata baru. Dan kita membiarkannya tercecer begitu saja,” ujar analis siber, Adinda Karim.
Solusi Mendesak: Transparansi dan Investasi Keamanan
Pakar mendesak pemerintah untuk memaksa semua institusi publik dan swasta memiliki standar minimum keamanan digital. Selain itu, harus ada transparansi setiap kali terjadi kebocoran, agar publik tahu risiko dan langkah mitigasi.
“BSSN harus lebih agresif, dan masyarakat juga harus diberi edukasi soal hak-haknya sebagai pemilik data,” tambah Adinda.
Digitalisasi Boleh Maju, Tapi Keamanan Harus Sejalan
Dorongan transformasi digital tidak bisa dilepaskan dari kewajiban melindungi data warganya. Jika tidak, kepercayaan publik bisa runtuh, dan digitalisasi justru menjadi bumerang.