Rupiah Merosot Pekan Ini, Terburuk Sejak Pertengahan April 2024
Tanggal: 7 Okt 2024 05:20 wib.
Rupiah kembali terpantau merosot di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang pekan ini, menandai perkasanya kembali sang dolar AS akibat membaiknya data tenaga kerja AS. Data dari Refinitiv mengindikasikan bahwa rupiah terpuruk sebesar 2,38% secara point-to-point (ptp) dihadapan dolar AS. Merosotnya nilai rupiah pada pekan ini hampir menyamai penurunan pada pertengahan bulan April lalu, di mana kala itu rupiah melorot sebesar 2,59% secara point-to-point.
Selama pekan ini, rupiah kembali mendekati level psikologis Rp 15.500/US$. Pada perdagangan Jumat (5/10/2024), rupiah ditutup melemah sebesar 0,42% di level Rp 15.480/US$. Kondisi rupiah yang merosot ini juga tidak berdiri sendiri, sebab di Asia tak ada mata uang yang mampu melawan penguatan dolar AS. Yen Jepang pun menjadi yang paling terpuruk kinerjanya dengan penurunan sebesar 2,94% sepanjang pekan ini.
Merosotnya rupiah dan mata uang Asia diiringi oleh memburuknya sentimen pasar global, terutama akibat makin memanasnya situasi di Timur Tengah. Kondisi ini membuat para investor beralih ke aset safe haven seperti dolar AS. Indeks dolar (DXY) bahkan mencapai penguatan ke level 102,49, menjadi yang terkuat sejak pertengahan Agustus lalu. Ketidakpastian semakin meningkat setelah Iran melakukan serangan besar-besaran menggunakan rudal ke Israel, hanya beberapa jam setelah peringatan dari pejabat Gedung Putih bahwa Teheran "segera" merencanakan serangan.
Tantangan semakin bertambah dengan data tenaga kerja di Amerika Serikat yang menunjukkan adanya tanda-tanda pemulihan. Hal ini menimbulkan keraguan pasar terhadap potensi pemangkasan suku bunga bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) sebesar 50 basis poin (bps) dalam dua kali pertemuan yang tersisa di tahun ini. Angka non-farm payroll (NFP) meningkat menjadi 254 ribu pekerjaan bulan lalu, lebih tinggi dari periode sebelumnya sebesar 159 ribu pekerjaan. Sementara itu, tingkat pengangguran juga turun ke 4,1% pada bulan lalu, dari sebelumnya pada Agustus lalu yang mencapai 4,2%.
Pernyataan Ketua The Fed, Jerome Powell, sebelumnya sudah membuat pasar cenderung kecewa dan mulai melakukan aksi profit taking. Powell mengisyaratkan bahwa tidak akan agresif dalam pemangkasan suku bunga acuannya di sisa pertemuan The Fed tahun ini. Rencana pemangkasan suku bunga sebesar 25 bps dalam dua pertemuan yakni November dan Desember mendatang membuat pasar merasa diliputi kekecewaan yang berujung pada perlambatan aktivitas ekonomi global.
Sebagian pelaku pasar bahkan mengharapkan pemangkasan suku bunga yang lebih besar, yakni 75 bps, di mana instrumen CME FedWatch menunjukkan 47,9% pelaku pasar berharap adanya pemangkasan suku bunga The Fed sebanyak 75 bps pada Desember mendatang. Ketidakpastian yang semakin tinggi dan tekanan terus menerus terhadap rupiah telah membuat pasar menjadi lebih waspada. Dengan kondisi geopolitik dan ekonomi global yang tidak menentu, pergerakan rupiah ke depannya tetap harus diawasi dengan seksama.