Rokok Murah Ngebul di Mana-Mana, Gudang Garam Jadi Korban
Tanggal: 11 Jul 2024 20:03 wib.
Rokok murah mulai membanjiri pasar di Indonesia sejak pandemi Covid-19 melanda negara tersebut. Dampak dari pandemi, seperti penurunan pendapatan, kehilangan pekerjaan, dan perpindahan orang ke daerah, telah memicu kenaikan produksi dan penjualan rokok yang lebih terjangkau secara harga. Fenomena ini berimbas kepada produsen rokok besar, terutama yang biasa mendominasi pasar rokok tier satu dan harganya lebih tinggi.
Dari pernyataan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, disebutkan bahwa ada kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) rata-rata sebesar 10% per Januari 2024. Kenaikan ini sesuai dengan keputusan Presiden Joko Widodo pada 2022. Keputusan ini mengatur kenaikan tarif CHT dua tahun berturut-turut, yakni pada 2023 dan 2024.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 109/PMK.010/2022 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, ada sembilan golongan struktur tarif cukai yang terbagi menjadi sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), sigaret kretek tangan (SKT), sigaret putih tangan (SPT), Sigaret Kretek Tangan Filter, rokok kemenyan, tembakau iris, rokok daun atau klobot (KLB), dan cerutu.
Kelas SKM dan SPM sendiri terbagi atas dua golongan, yakni golongan I atau tier I dengan produksi lebih dari 3 miliar batang, dan tier II yakni kurang dari 3 miliar batang. Golongan I pada SKM dan SPM adalah produsen rokok terbesar di Indonesia. Fenomena banyaknya konsumen yang beralih ke rokok murah tercermin dari penurunan penerimaan cukai yang hanya mencapai 95,4% dari target. Hal ini menyebabkan banyak produsen rokok turun ke kelompok 3 yang tarifnya lebih murah, dan bahkan berdampak pada penurunan penerimaan cukai.
Produsen rokok besar seperti PT Gudang Garam Tbk (GGRM) mencatatkan kenaikan penjualan rokok pada tahun 2020 ke 2021, namun perusahaan harus mulai mencatatkan penurunan penjualan sejak tahun 2021 ke 2023 sebesar 4,75%. Sementara itu, PT H.M. Sampoerna Tbk (HMSP) mencatat kenaikan penjualan, dengan pertumbuhan penjualan Sampoerna melambat dari 12,5% pada 2022 menjadi hanya 4,3% pada 2023. Di sisi lain, PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) masih mencatatkan peningkatan penjualan sejak tahun 2020 hingga 2023.
Faktor utama yang memicu fenomena ini adalah adanya penurunan daya beli konsumen di segmen yang berpenghasilan lebih rendah, yang menyebabkan banyak perokok harus memilih antara mempertahankan rokok yang mereka konsumsi atau menurunkan kebiasaan merokok dengan alih ke rokok yang lebih murah. Hal ini diperparah dengan kenaikan tarif cukai hasil tembakau, sehingga banyak perusahaan rokok mengalami downtrading, di mana produksi rokok lebih banyak dihasilkan oleh pelaku usaha golongan III yang memiliki tarif cukai lebih rendah.
Sejak pandemi Covid-19 melanda dunia pada Maret 2020, terdapat puluhan produk rokok murah yang diluncurkan. Tak hanya pemain kecil dari daerah, produsen besar seperti PT HM Sampoerna, PT Gudang Garam, dan PT Djarum juga turut mengeluarkan produk rokok murah, seperti Djarum Super Next, Djarum Wave, dan Gudang Garam Signature Mild dengan harga yang lebih terjangkau.
Menurut pengamat industri rokok, mahal dan murahnya harga rokok sangat relatif bagi setiap orang, tergantung pada bahan mentah, kemasan, dan faktor lainnya. Banyak rokok murah yang beredar setelah pandemi Covid-19, bahkan perusahaan besar memakai strategi lain dengan mengemas ulang rokok dengan isi yang lebih sedikit, seperti Minak Djinggo Rempah, City Lite By Ares, Kansas American Blend, Aroma Mile (Mild), dan masih banyak lagi.
Fenomena ini juga memunculkan beragam produk rokok yang kini beredar di pasaran, baik secara nasional maupun khusus di daerah tertentu. Namun, dampak utamanya adalah pada produsen rokok besar seperti PT Gudang Garam Tbk yang mulai mengalami penurunan penjualan sejak pandemi, terutama karena banyaknya konsumen yang beralih ke rokok murah dari produsen lain.
Dari data-data yang ada, fenomena rokok murah post-pandemi semakin menjadi perhatian utama dalam industri rokok Tanah Air.