Ribuan nelayan di Jawa Tengah Terancam Kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan
Tanggal: 2 Nov 2017 11:34 wib.
Tampang.com - Lebih dari 53 ribu nelayan Jawa Tengah dari lima kabupaten terancam menjadi korban sosial dan ekonomi dari kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), terkait dengan pelarangan penggunaan alat tangkap cantrang. Dimana rencananya Peraturan Menteri No.71/PERMEN-KP/2016, tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia akan mulai diberlakukan pada awal tahun 2018.
Sekjen Masyarakat Perikanan Nusantara, Nimmi Zulbainarni mengatakan, jika kebijakan pelarangan penggunaan alat tangkap cangkrang tersebut diberlakukan, dipastikan akan membuat nelayan cantrang kehilangan pekerjaan dan pendapatan. ”Kalau (penggunaan cantrang) distop, ada lebih dari 53 ribu nelayan Jawa Tengah yang akan terkena dampak sosial dan ekonomi. Mereka akan kehilangan pekerjaan dan penghasilan mereka otomatis akan menurun,” ujar Nimmi yang juga Peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.
Dikatakan, dari penelitian yang telah dilakukan, ada berbagai pihak pelaku usaha yang juga akan terkena dampak turunan dari rencana kebijakan tersebut. Adapun penelitian itu dilakukan di lima kabupaten di Jawa Tengah, yakni Brebes, Tegal, Batang, Pati, dan rembang. ”Sektor-sektor pengolahan ikan, pengrajin tali selambar, peternak itik, pedagang kelontong dipastikan juga akan berdampak. Bahkan pemerintah daerah pun juga terkena dampak ekonomi kehilangan pendapatan dari 36 tempat pelelangan ikan, sebesar lebih dari Rp 17 miliar per tahunnya,” paparnya.
Lebih lanjut dirinya juga masih mempertanyakan dasar kebijakan itu. Apalagi, penggunaan metode alat tangkap ikan menggunakan cantrang telah dilakukan sejak 35 tahun yang lalu. ”Nelayan Jawa Tengah bisa sejahtera karena menggunakan alat tangkap ini. Adanya wacana pelarangan alat tangkap cantrang membuat nelayan gundah dan tentu saja akan menurunkan kesejahteraan nelayan,” katanya.
Nimmi berpendapat, ada solusi lain yang dapat diambil pemerintah tanpa harus melarang penggunaan cantrang. Jika alasannya tidak ramah lingkungan. ”Perlu ditinjau kembali kebijakan ini. Isu tidak ramah lingkungan terhadap penggunaan alat tangkap ini dapat diatasi dengan cara mengendalikan jumlah alat tangkap cantrang yang digunakan, dan mengawasi operasional penggunaannya,” tandasnya.
Aktivis Lingkungan Hidup Emmy Hafild mengatakan, kebijakan pelarangan penggunaan cantrang oleh KKP dinilai tidak melihat dampak sosial dan ekonomi yang akan dialami oleh masyarakat luas. ”Dari kebijakan ini terlihat bahwa pemerintah tidak memperhitungkan dampak yang akan dialami secara langsung oleh ribuan bahkan ratusan ribu nelayan di Indonesia. Belum lagi dampak turunannya bagi pelaku usaha lainnya,” jelasnya.
Dikatakan, meski kebijakan itu belum sepenuhnya diberlakukan, sudah banyak nelayan yang tidak melaut. ”Kita ingin adanya solusi yang tepat dari pemerintah. Tapi sampai dengan saat ini belum ada alternatif yang menguntungkan bagi para nelayan,” ujar Emmy.
Seharusnya, tegas dia, kebijakan yang diambil pemerintah dapat memberikan keuntungan nelayan dan industri dalam negeri. ”Terbukti, dalam beberapa tahun belakangan ini ekspor ikan kita menurun drastis. Jangan sampai ketidakmampuan pemerintah untuk mengelola perikanan kemudian menjadikan nelayan merana,” tegasnya.
Sementara itu, pemilik industri rumahan tali selambar, Tohadi mengungkapkan bahwa pihaknya telah terkena dampak kebijakan itu. ”Pelarangan cantrang sangat luar biasa berdampak bagi industri tali selambar. Karena 90 persen hasil industri kami digunakan untuk cantrang,” ungkapnya.
Disebutkan, pihaknya telah memberhentikan setengah dari jumlah karyawan yang ada. ”Kalau pemerintah tidak mencabut kebijakan itu, maka kita tinggal menunggu waktu gulung tikar bulan Desember,” pungkasnya.