Sumber foto: Google

Proyek Bawah Tanah Menggila, Indonesia Justru Kekurangan Insinyur: Ancaman di Balik Modernisasi

Tanggal: 3 Nov 2025 18:32 wib.
Indonesia tengah berada di era ambisi besar dalam pembangunan infrastruktur. Proyek-proyek bawah tanah seperti MRT, terowongan drainase, dan jalur kereta cepat seolah menjadi simbol kemajuan. Namun, di balik gegap gempita modernisasi ini, ada masalah serius yang kerap diabaikan: kekurangan insinyur spesialis tunnel atau tunneling engineer.

Data dari Kementerian PUPR menunjukkan fakta yang mencengangkan. Saat ini, jumlah insinyur yang benar-benar kompeten di bidang konstruksi bawah tanah hanya berjumlah ratusan orang. Sementara, proyek-proyek baru terus bermunculan dengan skala dan risiko yang semakin besar. Ketimpangan ini menciptakan ancaman nyata: proyek tertunda, biaya membengkak, bahkan potensi kecelakaan konstruksi.

“Banyak orang mengira membangun tunnel hanya soal menggali tanah. Faktanya, ini pekerjaan yang sangat kompleks,” tegas Dr. Aditya Pratama, pakar teknik sipil dari Universitas Indonesia. “Satu kesalahan perhitungan bisa berdampak besar, mulai dari kerusakan infrastruktur hingga risiko keselamatan manusia.”

Kekurangan tenaga ahli ini bukan hanya soal jumlah, tapi juga kualitas. Indonesia masih sangat bergantung pada tenaga ahli asing untuk proyek-proyek besar. Konsekuensinya jelas: biaya proyek meningkat drastis, teknologi lokal kurang berkembang, dan transfer pengetahuan ke tenaga kerja Indonesia berjalan lambat.

Universitas dan institusi pendidikan mulai merespons dengan menawarkan program studi teknik tunneling dan pelatihan intensif. Namun, menghasilkan insinyur kompeten tidak bisa instan. Dibutuhkan kombinasi teori, praktik lapangan, dan pengalaman bertahun-tahun. “Kalau kita ingin mengejar ketertinggalan, kita harus serius menyiapkan SDM sejak sekarang, bukan besok atau lusa,” kata Nita Rahmawati, Kepala Laboratorium Geoteknik ITB.

Beberapa perusahaan konstruksi mencoba mengurangi ketergantungan pada tenaga manusia dengan teknologi. Tunnel Boring Machine (TBM) canggih dan software simulasi 3D digunakan untuk mempercepat pekerjaan. Tapi mesin pun tetap membutuhkan pengawasan ahli. Tanpa tenaga profesional yang handal, proyek-proyek ini berisiko berjalan salah arah atau bahkan gagal.

Masalah ini bukan hanya soal pembangunan, tetapi juga keselamatan publik. Banyak kota besar di Indonesia rawan banjir dan longsor. Sistem drainase bawah tanah yang efektif memerlukan desain dan pengawasan profesional. Kekurangan insinyur tunnel berarti kota-kota berisiko menghadapi bencana yang sebenarnya bisa dicegah.

Ironisnya, di saat pemerintah menargetkan percepatan infrastruktur, langkah strategis untuk menyiapkan tenaga ahli justru tertinggal. Tanpa insentif yang jelas, program pendidikan yang masif, dan beasiswa khusus, krisis SDM di bidang tunneling bisa menjadi bom waktu.

Jika tren ini tidak segera diatasi, Indonesia menghadapi tiga risiko besar: proyek infrastruktur tertunda, biaya melonjak, dan potensi kecelakaan konstruksi meningkat. Semua ini bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi sekaligus merusak citra negara di mata investor.

Kesimpulannya, Indonesia berada di titik kritis. Ambisi proyek bawah tanah bisa menjadi kebanggaan atau malapetaka, tergantung seberapa cepat negara menyiapkan para insinyur tunneling. Tanpa langkah nyata, modernisasi bisa berubah menjadi risiko besar yang membayangi kemajuan.

Saatnya pemerintah, universitas, dan sektor swasta bersinergi untuk menyiapkan generasi insinyur tunnel yang kompeten. Karena di era pembangunan megaprojek ini, kemampuan menggali tanah harus diimbangi dengan kemampuan menggali potensi manusia. Tanpa itu, modernisasi hanya akan menjadi lubang yang tidak ada dasarnya.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved