Sumber foto: Google

Pemerintah Didesak Cabut Aturan yang Membuka Keran Ekspor Pasir Laut

Tanggal: 17 Sep 2024 13:08 wib.
Pemerintah didesak mencabut aturan yang membuka lebar keran ekspor pasir laut karena kerusakan akibat pengerukan dalam jumlah besar bisa permanen di masa mendatang, kata pakar kelautan dari Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Rignolda Djamaludin.

Kerusakannya pun bisa beragam, tambah Rignola. Mulai dari kerusakan habitat organisme laut, abrasi di wilayah pesisir, hilangnya pulau-pulau kecil, hingga lenyapnya mata pencaharian nelayan.

Salah satu keluarga nelayan di Jepara, Jawa Tengah, yang sudah merasakan dampak pengerukan pasir laut mengaku hasil tangkapan nelayan berkurang drastis. Banyak keluarga nelayan akhirnya terjerat hutang demi menyambung hidup.

Asisten Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Doni Ismanto, mengatakan ekspor pasir laut hanya dilakukan dengan syarat kebutuhan material di dalam negeri sudah tercukupi dan tidak menurunkan daya dukung serta daya tampung ekosistem pesisir. Meskipun diakuinya, saat ini terdapat 66 perusahaan yang sudah dilakukan verifikasi dan evaluasi untuk mengelola hasil sedimentasi laut.

Tri Ismiyati menghela nafas panjang kala menceritakan nasib ratusan keluarga nelayan di Desa Bandungharjo, Kecamatan Donorojo, Jepara, Jawa Tengah. Pasalnya saban malam melaut, beberapa nelayan termasuk suaminya kadang pulang dengan tangan kosong. Kalaupun ada yang mendapatkan hasil laut, jumlahnya cuma lima kilogram.

"Itu pun dapatnya lama sekali," ucap Tri Ismiyati.

"Dan dalam sebulan paling hanya dua atau tiga kali saja, selebihnya ya enggak dapat apa-apa," sambungnya.

Ibu tiga anak ini bercerita kondisi tersebut terjadi sejak kapal isap pasir laut beroperasi di wilayah pesisir pada Maret tahun lalu. Setiap malam selama sebulan, kapal itu mengambil pasir laut.

Para nelayan yang curiga, kata Tri Ismiyati, sempat mendatangi kapal isap tersebut dan menanyakan keperluan mereka. Awak kapal, menurut Tri, memaparkan bahwa mereka mengaku sedang mengambil sampel tanpa menjelaskan untuk kebutuhan apa dan milik perusahaan siapa.

Akibat operasional kapal isap, air laut berubah jadi keruh berwarna kecoklatan. Sejak saat itu hingga sekarang, hasil tangkapan nelayan turun drastis. Kalau dulu nelayan bisa membawa pulang ikan hingga lima kuintal, kini dapat lima kilogram saja sudah susah payah.

"Sekarang sebulan, kadang dapat hasil cuma dua atau tiga kali. Ikan pun nggak mudah didapat padahal melaut sebulan tiap hari. Modal Rp300.000 nggak bawa apa-apa, untuk lauk aja nggak ada."

"Laut makin susah diprediksi, biasanya panen udang atau ikan, sekarang enggak ada. Panen ikan sudah seperti mimpi."

Gara-gara hasil tangkapan yang tak menentu, beberapa nelayan menyerah dan mencari pekerjaan lain. Entah bekerja di pabrik, menjadi buruh migran, atau mencari peruntungan ke kota lain. Tapi suami Tri Ismiyati tak menyerah. Suaminya dan anak tertuanya masih berharap dari hasil melaut.

"Nelayan itu kalau nggak melaut, nggak bisa melakukan pekerjaan lain. Cuma bisa betulin alat-alat melaut kayak jaring atau benerin kapal."

Dan kini dengan adanya keputusan pemerintah yang membolehkan pengerukan pasir laut secara besar-besaran bahkan untuk ekspor, perempuan 43 tahun ini mengaku sedih. Ia terang-terangan menyatakan menolak.

"Ya menolak pasti, ini belum dikeruk aja begini, apalagi kalau diobrak-abrik? Terus gimana nasib nelayan seperti kami?"

Pemerintah resmi membuka keran ekspor pasir laut setelah selama 20 tahun melarang. Hal itu berlaku dengan keluarnya Permendag nomor 20 tahun 2024 tentang barang yang dilarang untuk diekspor dan Permendag nomor 21 tahun 2024 tentang kebijakan dan pengaturan ekspor.

Pembukaan ekspor pasir laut lewat Kemendag merujuk pada Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2023 tentang hasil pengelolaan sedimentasi di laut serta tindak lanjut dari usulan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Asisten Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Doni Ismanto, mengatakan ekspor pasir laut hanya dilakukan dengan syarat kebutuhan material di dalam negeri sudah tercukupi dan tidak menurunkan daya dukung serta daya tampung ekosistem pesisir. Karenanya dia meminta agar "pembersihan sedimentasi laut" jangan diframing sebagai kawasan pengambilan pasir. Apalagi, sebutnya, diasosiasikan dengan aktivitas ekspor pasir laut.

"Tujuan dari pembersihan sedimentasi di laut ada dua, yaitu peningkatan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir," katanya.  

Untuk pengerukan pasir laut ini, KKP telah menetapkan tujuh lokasi di antaranya Kabupaten Demak, Kota Surabaya, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Indramayu. Selanjutnya Kabupaten Karawang, perairan sekitar Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan, serta perairan di sekitar Pulau Karimun, Pulau Lingga, dan Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau.

Doni mengklaim penentuan tujuh lokasi itu ditentukan oleh tim kajian yang anggotanya lintas kementerian dan para pakar. Lokasi-lokasi itu, sambungnya, merupakan lokasi yang disebutnya mengganggu ekosistem dan mengganggu aktivitas nelayan seperti di perairan laut dekat muara.

Dengan keluarnya lokasi tersebut KKP mempersilakan pelaku usaha untuk memanfaatkan hasil sedimentasi alias mengeruk pasir laut yang ada. Pelaku usaha yang dimaksud KKP yakni yang memiliki kriteria diantaranya bergerak di bidang pembersihan hasil sedimentasi di laut dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut serta memiliki peralatan dengan teknologi khusus.

Doni juga membeberkan saat ini terdapat 66 perusahaan yang sudah mengajukan izin ekspor dan sudah dilakukan verifikasi serta evaluasi untuk apa yang disebutnya mengelola hasil sedimentasi laut. Apabila dari 66 perusahaan itu tidak bisa memenuhi syarat seperti yang tercantum dalam Permen KP nomor 33 tahun 2023, maka tidak akan mendapatkan izin.

Merujuk pada pasal 24 Permen KP nomor 33 tahun 2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi di laut, kebutuhan material hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut untuk diekspor dilakukan sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi. Kemudian, kebutuhan material pasir laut untuk ekspor berdasarkan ketersediaan volume pasir laut dibandingkan dengan kebutuhan dalam negeri.

Pada pasal 25 tertulis bahwa pelaku usaha yang akan melakukan ekspor pasir laut harus mengajukan surat permohonan rekomendasi ekspor pasir laut kepada Menteri. Surat permohonan rekomendasi ekspor pasir laut paling sedikit memuat: negara tujuan ekspor, tujuan pemanfaatan pasir laut, pihak yang memanfaatkan pasir laut, volume pasir laut, sarana pengangkutan, dan waktu pelaksanaan ekspor pasir laut. 

Berdasarkan surat permohonan tersebut, Menteri akan menerbitkan rekomendasi yang memuat volume pasir yang dapat diekspor. Setelahnya mengurus perizinan berusaha kepada Kementerian Perdagangan dan wajib memiliki Izin Pemanfaatan Pasir Laut.

Pada pasal 27 menyebutkan permohonan Izin Pemanfaatan Pasir Laut harus disertai proposal dan rencana yang memuat:


tujuan pembersihan hasil sedimentasi di laut dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut
mitra kerja
lokasi pembersihan hasil sedimentasi di laut dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut yang menunjukkan letak perairan berupa nama perairan dan titik koordinat geografis
kondisi fisik, kimia, dan biologi perairan
volume pembersihan hasil sedimentasi di laut dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut
metode dan sarana pembersihan hasil sedimentasi di laut dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut
pernyataan kesanggupan penyelesaian persetujuan lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
data peralatan pembersihan hasil sedimentasi di laut dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut yang memuat jumlah, kepemilikan, dan spesifikasi teknis
rencana pengelolaan dampak fisik, kimia, biologi, dan sosial
kelayakan finansial
proyeksi nilai manfaat yang akan diberikan kepada pemerintah
keterangan riwayat pengalaman dalam melakukan usaha pembersihan hasil sedimentasi di laut dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut
dokumen permohonan persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL)


Selain itu pelaku usaha juga harus memenuhi kriteria:


bergerak di bidang pembersihan hasil sedimentasi di laut dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut dengan teknik khusus, pengangkutan, penempatan, penggunaan, dan penjualan hasil sedimentasi di laut yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu pelaku usaha dan pelaku pendukung sektor kelautan dan perikanan
badan usaha berbentuk perseroan terbatas yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia yang memiliki rencana pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan ke masyarakat di lokasi pengerukan
menggunakan peralatan untuk melakukan pengerukan berupa peralatan pendukung dengan teknologi khusus
memiliki kemampuan modal, sumber daya manusia, dan teknologi sesuai kapasitas pekerjaan
tidak memiliki riwayat pelanggaran perizinan berusaha di sektor kelautan dan perikanan


Terkait volume pembersihan hasil sedimentasi di laut dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut yang bisa dikeruk paling sedikit 50 juta meter kubik. Adapun Izin Pemanfaatan Pasir Laut berlaku selama tiga tahun sejak diterbitkan dan tidak dapat diperpanjang.

Pakar kelautan dari Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Rignolda Djamaludin, menyatakan argumentasi pemerintah membuka keran ekspor pasir laut karena ingin memenuhi kebutuhan dalam negeri sekaligus mengatasi masalah sedimentasi tidak cukup beralasan.

Sebab, menurutnya, sampai saat ini pemerintah tak membeberkan dengan terang benderang seberapa besar kebutuhan pasir laut di dalam negeri dan tingkat keparahan sedimentasi yang terjadi di pesisir Indonesia. Termasuk kajian jika sedimentasi berupa pasir laut dikeruk secara masif.

Mayoritas penelitian justru menunjukkan kerentanan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil akan semakin tinggi jika dilakukan pengerukan pasir laut.

"Studi di Indonesia justru menunjukkan kerentanan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berada dalam skala sedang dan tinggi. Artinya kalau [pengerukan secara besar-besaran] dilakukan, kerentanan itu bisa bertambah buruk," jelas Rignolda.

Kerentanan yang dimaksud Rignola di antaranya abrasi atau pengikisan tanah di daerah pesisir pantai. Pasalnya ketika sedimentasi yang terakumulasi di suatu wilayah pesisir dikeruk, maka terjadi ketidakstabilan. Untuk menutupi kekosongan itu, menurutnya, arus laut akan menggerus material dari tempat lain. Contoh nyata dari dampak pengerukan pasir laut terjadi di Pulau Nipa, Batam yang tenggelam karena abrasi pada 2002.

"Lalu bagaimana jika yang terambil itu adalah wilayah yang berisiko terabrasi? Ini kan menambah kerentanan."

"Kalau begitu gimana bisa dikatakan aman mengeruk pasir laut? Makanya dulu muncul regulasi yang melarang pengambilan pasir."

Persoalan lain, kata Rignolda, secara global perairan Indonesia termasuk yang mengalami proses kenaikan air laut. Jika pemerintah malah mengeruk sedimentasi di laut, menurut Rignolda, sama saja menambah risiko erosi pantai, banjir bandang, hingga terendamnya pesisir serta pulau-pulau kecil.

Begitu juga dengan ekosistem laut yang disebut Rignolda akan berakibat fatal. Ketika pasir laut disedot dalam jumlah banyak, maka terumbu karang yang ada di sana akan mati dan ikan-ikan pun akan mencari habitat baru, paparnya. Itu mengapa, dia menilai keputusan pemerintah mengizinkan pengerukan pasir laut dengan dalih membersihkan sedimentasi di laut hanya "pembenaran semata".

Ujung-ujungnya, kata Rignola, pemerintah hanya mencari keuntungan ekonomi. Sebab dari ekspor pasir laut para pengusaha harus menyetor penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar 5% dari nilai volume sedimen yang akan dimanfaatkan.

"Alasan membersihkan sedimentasi hanya dibuat-buat. Karena tidak ada kajian apakah selama 20 tahun terjadi peningkatan sedimentasi?"

"Bagaimana kalau sedimentasi itu fluktuatif? Pada waktu lain tidak seperti itu, bahkan berkurang."

"Makanya saya minta dikaji baik-baik, laut masa depan kita, mestinya dari sekarang kita persiapkan dengan baik bukan dibuat rentan dan tidak bernilai di masa depan."
Copyright © Tampang.com
All rights reserved