Pembatalan Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan di Cirebon: Kebijakan Kembali ke Tarif Normal
Tanggal: 18 Agu 2025 08:22 wib.
Rencana untuk menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kota Cirebon, yang sebelumnya mencengangkan dengan angka kenaikan hingga 1.000 persen, kini resmi dibatalkan. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, langsung mengambil langkah cepat dengan melakukan pertemuan bersama Wali Kota Cirebon, Effendi Edo, pada Kamis, 14 Agustus 2025. Pertemuan tersebut berhasil menciptakan kesepakatan untuk mengembalikan tarif PBB di Kota Cirebon ke level normal seperti sebelumnya, sehingga meringankan beban masyarakat.
Dalam pernyataannya, Dedi Mulyadi menyebutkan, "Kami telah berkesempatan untuk berdialog dengan Wali Kota Cirebon mengenai isu yang ramai dibicarakan di media sosial terkait kenaikan pajak bumi dan bangunan yang sangat tinggi." Ia menjelaskan bahwa keputusan untuk membatalkan kenaikan pajak ini menjadi penting setelah menyaksikan tanggapan negatif yang masif dari masyarakat. Banyak warga Cirebon menilai bahwa kenaikan tarif PBB tersebut tidak hanya memberatkan, tetapi juga terasa sangat tidak wajar, sehingga upaya peninjauan ulang menjadi krusial untuk mencegah gejolak sosial yang lebih besar.
Gubernur Dedi menegaskan bahwa sikap proaktif Wali Kota Cirebon dalam merevisi kebijakan ini adalah langkah yang bijak. Tindakan tersebut menjadi harapan baru bagi banyak warga yang sebelumnya merencanakan demonstrasi untuk menolak kenaikan pajak. Dengan keputusan ini, diharapkan bisa meredakan ketegangan dan menjaga hubungan harmonis antara pemerintah daerah dan masyarakat.
Dedi Mulyadi menegaskan bahwa rencana kenaikan PBB tersebut merupakan warisan kebijakan yang ditetapkan oleh Pejabat Wali Kota (Pj Wali Kota) sebelumnya pada tahun 2024. "Namun, dengan adanya nota keberatan dari masyarakat, jelas terlihat bahwa tarif ini terlalu tinggi," jelasnya. Ia menekankan bahwa kondisi ekonomi masyarakat saat ini tidak mendukung diberlakukannya kenaikan pajak yang sangat signifikan.
Dalam pertemuan ini, Gubernur Dedi meminta Wali Kota Effendi Edo untuk segera menilai dan membatalkan kebijakan yang ditetapkan oleh Pj Wali Kota terdahulu. Wali Kota Cirebon pun menyatakan kesiapannya untuk memenuhi permintaan tersebut dan memastikan bahwa tarif PBB akan kembali direvisi menjadi tarif normal, bahkan akan berlaku untuk tahun 2026 mendatang. "Ini artinya akan ada evaluasi terhadap keputusan-keputusan yang dibuat oleh Pj Wali Kota sebelumnya," lanjut Dedi.
Lebih lanjut, ia meminta kepada masyarakat Kota Cirebon agar tidak mudah terprovokasi dengan berbagai informasi yang beredar di media sosial. Gubernur Dedi menekankan pentingnya dukungan dari warga kepada pemerintah daerah, guna mengambil keputusan yang tepat demi kepentingan bersama. "Kami mohon masyarakat tidak mengeruhkan suasana, karena keputusan yang diambil oleh Bapak Wali Kota adalah demi kepentingan rakyat," tambahnya.
Kejadian pembatalan kenaikan PBB ini menambah deretan kontroversi serupa yang terjadi di Jawa Barat. Sebelumnya, Bupati Pati juga mengambil langkah mundur dengan membatalkan rencana kenaikan PBB sebesar 250 persen setelah menghadapi tekanan dari publik. Situasi ini tentu menjadi pengingat bagi para pemimpin daerah untuk lebih peka terhadap kondisi perekonomian masyarakat dan memastikan bahwa setiap kebijakan fiskal yang diterapkan bersifat proporsional.
Gubernur Dedi Mulyadi terlihat aktif dalam menanggapi isu-isu terkait PBB di seluruh wilayah Jawa Barat. Ia bahkan meminta tanggapan kepada Bupati dan Wali Kota di provinsi ini untuk mencabut semua tunggakan PBB warga demi meringankan beban ekonomi. Meskipun demikian, beberapa daerah masih memerlukan analisis mendalam mengenai pelaksanaan kebijakan tersebut, seperti yang disampaikan oleh Wali Kota Bekasi dan Wali Kota Tasikmalaya.
Pembatalan kenaikan PBB yang mencapai 1.000 persen di Cirebon diharapkan dapat menjadi teladan bagi daerah-daerah lain. Ini menunjukkan bahwa pemimpin yang bijak adalah mereka yang mampu mendengar aspirasi rakyat serta berani mengambil langkah-langkah sulit demi kesejahteraan publik.