Paylater Memudahkan, Tapi Banyak yang Terjebak Utang!
Tanggal: 12 Mei 2025 22:21 wib.
Tampang.com | Layanan pembayaran "buy now, pay later" atau paylater semakin marak digunakan masyarakat Indonesia. Dari belanja daring hingga tiket liburan, fitur ini dianggap sebagai solusi cepat untuk memenuhi gaya hidup tanpa perlu menunggu gajian. Namun, di balik kemudahan itu, banyak pengguna terjerat cicilan bertumpuk dan denda keterlambatan yang mencekik.
Menurut data dari Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), pengguna layanan paylater meningkat hingga 30% sepanjang tahun 2024. Namun laporan OJK juga menunjukkan peningkatan signifikan pada tingkat kredit macet dari sektor ini.
Kemudahan yang Berujung Masalah
Banyak pengguna terjebak dalam godaan cicilan ringan tanpa menyadari akumulasi tagihan dan bunga yang bisa mencapai lebih dari 30% per tahun. “Awalnya cuma Rp500 ribu, tapi karena ambil paylater di beberapa aplikasi, tagihan saya sekarang sudah lebih dari Rp3 juta,” ujar Dinda, karyawan swasta di Tangerang.
Sistem pembayaran yang tampak ringan membuat masyarakat kehilangan kontrol. Tak sedikit yang menggandakan paylater untuk kebutuhan konsumtif, bukan kebutuhan mendesak.
Pengawasan dan Literasi Masih Lemah
Meski OJK telah mengatur fintech lending, banyak penyedia paylater yang belum berada dalam pengawasan ketat. Edukasi kepada konsumen pun masih minim. Pengguna muda, khususnya Gen Z, paling banyak menggunakan paylater namun juga menjadi kelompok yang paling rentan gagal bayar.
“Banyak masyarakat tak sadar bahwa paylater pada dasarnya adalah utang, dengan bunga dan risiko gagal bayar yang nyata,” jelas Rinaldi, peneliti ekonomi digital dari IDEC.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Beberapa solusi mendesak yang disarankan para pakar dan pengamat:
Perketat regulasi paylater dan mewajibkan transparansi bunga & biaya tersembunyi
Edukasi keuangan sejak dini, termasuk di kampus dan sekolah
Batasi limit kredit bagi pengguna pemula dan beri sistem peringatan risiko
Utang Bukan Gaya Hidup
Fenomena paylater mencerminkan krisis literasi keuangan yang masih terjadi di tengah masyarakat digital. Tanpa regulasi dan kesadaran yang kuat, kemudahan bisa berubah jadi bumerang finansial.