Panen Melimpah, Tapi Harga Beras Masih Tinggi? Petani Bingung, Konsumen Menjerit!
Tanggal: 13 Mei 2025 22:28 wib.
Tampang.com | Harapan masyarakat akan turunnya harga beras pasca panen raya kembali pupus. Meski stok beras dari petani melimpah, harga di pasaran tetap bertahan di angka tinggi. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: di mana sebenarnya titik lemah dari rantai pasok pangan kita?
Panen Raya Tak Berdampak pada Harga Pasar
Petani dari beberapa daerah di Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan melaporkan hasil panen yang cukup baik pada awal tahun ini. Namun harga beras di pasar tradisional dan ritel modern masih berada di atas Rp13.000 per kilogram untuk kualitas medium—jauh dari harga ideal yang dijanjikan pemerintah.
“Panen kami bagus, tapi tengkulak tetap ambil dengan harga rendah. Sementara di kota, harga tak turun. Kami bingung, siapa yang ambil untung?” keluh Heru Santoso, petani dari Klaten.
Distribusi dan Rantai Pasok yang Tidak Efisien
Pengamat pertanian menilai bahwa salah satu biang keladi harga tinggi adalah distribusi yang tidak efisien dan terlalu banyaknya perantara (middleman). Alur distribusi beras dari petani ke konsumen melibatkan setidaknya lima sampai enam titik yang menyedot margin harga.
“Distribusi pangan kita penuh distorsi. Petani tak sejahtera, konsumen terbebani, dan pemain di tengah justru berjaya,” ujar Dr. Ratna Widuri, pakar ketahanan pangan dari IPB.
Dugaan Permainan Harga dan Mafia Beras
Selain distribusi yang rumit, ada pula dugaan permainan harga oleh kartel atau mafia beras. Kementerian Perdagangan menyatakan tengah melakukan investigasi terhadap penumpukan stok di gudang-gudang distributor besar.
“Kami menduga ada yang menahan pasokan agar harga tetap tinggi. Ini tindakan yang merugikan publik dan mengancam stabilitas pangan nasional,” kata Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Budi Astanto.
Namun hingga kini belum ada penindakan tegas yang diumumkan ke publik, membuat masyarakat skeptis terhadap komitmen pemerintah.
Solusi: Reformasi Tata Niaga dan Digitalisasi Distribusi
Para ahli menyarankan pembenahan tata niaga beras nasional, termasuk memperluas penggunaan teknologi untuk memotong jalur distribusi. Platform digital bisa menghubungkan langsung petani ke konsumen atau koperasi daerah, mengurangi ketergantungan pada tengkulak.
“Digitalisasi distribusi pangan bukan lagi opsi, tapi kebutuhan. Negara-negara lain sudah lebih maju soal ini,” jelas Ratna.
Konsumen dan Petani Sama-sama Dirugikan
Dalam kondisi seperti ini, baik petani maupun konsumen adalah korban. Petani tak menikmati harga yang layak dari hasil jerih payahnya, sementara masyarakat harus merogoh kantong lebih dalam untuk memenuhi kebutuhan pokok.
“Kalau negara serius mau jaga ketahanan pangan, bukan hanya soal produksi, tapi juga soal keadilan distribusi,” tambah Ratna.