Nikel Menguat Tipis Jelang Penutupan 2024, Simak Faktor Pemicunya
Tanggal: 1 Jan 2025 11:09 wib.
Harga nikel mengalami kenaikan tipis sebesar 0,68% menjelang penutupan tahun 2024, mencapai US$15.415 per ton pada akhir Desember 2024 di London Metal Exchange (LME).
Meski menguat, harga nikel masih berada di kisaran angka US$15.000-an, jauh di bawah rata-rata harga sepanjang 2023 yang mencapai US$21.688 per ton atau turun 15,3% dari tahun sebelumnya yang mencapai US$25.618 per ton.
Menurut Wahyu Tribowo Laksono, seorang pengamat komoditas dan pendiri Traderindo.com, sejak 19 November, harga nikel telah konsisten berkonsolidasi di rentang harga US$15.660 hingga US$16.300.
Rentang harga ini jauh dari potensi harga wajar yang diproyeksikan sekitar US$18.000 per ton. Meskipun terjadi penguatan atau pelemahan, Wahyu menjelaskan bahwa tidak ada faktor signifikan yang menjadi pemicu perubahan harga nikel.
Hal ini dikarenakan kondisi pasar yang relatif sepi dengan volatilitas yang rendah. Meskipun begitu, harga nikel tetap terjepit karena selama tahun 2024 mengalami penurunan yang signifikan.
Sentimen negatif terhadap harga nikel dipicu oleh terpilihnya Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Wahyu menyatakan bahwa Trump memiliki kebijakan yang lebih mendukung energi fosil dan kurang mendukung transisi energi hijau, yang berpotensi mengurangi permintaan kendaraan listrik dan akhirnya menekan permintaan nikel dari Indonesia. Hal ini memiliki dampak yang signifikan terhadap pasar nikel karena Amerika Serikat menjadi salah satu negara pengimpor utama nikel dari Indonesia.
Selain itu, Oktavianus Audi, Vice President, Head of Marketing, Strategy and Planning PT Kiwoom Sekuritas Indonesia, memberikan pandangannya terkait penguatan harga nikel pada akhir tahun 2024.
Audi mengatakan bahwa penguatan harga nikel lebih didorong oleh sentimen harga murah, yang sempat mencapai US$15.089 per ton pada 19 Desember 2024. Hal ini mendorong meningkatnya permintaan kontrak dalam perdagangan nikel.
Faktor lainnya yang mempengaruhi harga nikel adalah stabilitas ekonomi makro, terutama di China, dengan rilis data manufaktur Desember yang masih berada di zona ekspansif selama tiga bulan berturut-turut.
Meskipun demikian, Audi memperkirakan bahwa kondisi oversupply mulai menurun pada 2024 sebesar 174 kiloton berdasarkan data INSG. Produksi nikel dari Indonesia dan China yang meningkat berpotensi untuk membatasi kenaikan harga nikel di pasar global.
Di samping itu, Audi juga memperkirakan bahwa permintaan nikel dari China pada 2025 diperkirakan akan meningkat sebesar 4,9%. Hal ini didorong oleh perbaikan industri ship to ship (STS) dan meningkatnya permintaan baterai, yang kemudian dapat mendorong perbaikan harga nikel. China merupakan konsumen terbesar nikel global dengan kontribusi sebesar 63,5% terhadap konsumsi nikel di tingkat global.
Seiring dengan kenaikan harga nikel, logam dasar andalan Indonesia, seperti timah, juga mengalami kenaikan tipis sebesar 1,68% menjadi US$29.295 per ton dibandingkan dengan penutupan sebelumnya.
Namun, logam lainnya, seperti tembaga, aluminium, seng, dan timbal, mengalami penurunan harga. Hal ini menunjukkan kompleksitas pasar logam dan perubahan harga yang beragam tergantung pada faktor-faktor pasar yang berbeda.
Pada tahun 2024, harga nikel mengalami fluktuasi yang cukup signifikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari sisi suplai maupun permintaan. Sentimen negatif terhadap harga nikel dipicu oleh kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, sementara stabilitas ekonomi makro China turut berkontribusi dalam meningkatkan harga nikel.
Meskipun demikian, peningkatan produksi nikel dari Indonesia dan China berpotensi untuk membatasi kenaikan harga nikel di pasar global. Seiring dengan itu, tren harga nikel di tahun-tahun mendatang perlu diawasi secara cermat untuk memahami dampaknya terhadap pasar komoditasglobal.