Sumber foto: iStock

Nasib Warga RI Sudah Makan Tabungan, Makin Sulit Belanja Pula

Tanggal: 15 Jul 2024 12:43 wib.
Kalangan ekonomi berpendapat bahwa kondisi perekonomian Indonesia saat ini tidak dalam keadaan yang baik. Salah satu indikatornya adalah daya beli masyarakat yang sedang mengalami tekanan, disertai dengan terus menurunnya tabungan masyarakat. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pun menunjukkan penurunan selama tiga bulan berturut-turut, meskipun masih berada pada tingkat yang optimistis atau di atas 100. IKK yang dirilis oleh Bank Indonesia pada bulan Juni 2024 berada pada level 123,3, jauh lebih rendah dari posisi Mei 2024 yang sebesar 125,2, bahkan anjlok dibanding posisi per April 2024 sebesar 127,7.

Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), Telisa Aulia Falianty, pelemahan daya beli masyarakat terlihat dari data IKK tersebut. Dari hasil Survei Bank Indonesia per Mei, terlihat bahwa seluruh kelompok pengeluaran masyarakat mengalami penurunan indeks. Pola anomali juga terlihat pada penurunan tabungan masyarakat, yang menandakan pendapatan mereka tidak mencukupi kebutuhan pokok.

Tingkat optimisme konsumen yang turun per pengeluaran terlihat pada kelompok pengeluaran dengan pendapatan Rp 1-2 juta yang turun dari 117,2 pada April 2024 menjadi 114,9 pada Mei 2024. Begitu pula dengan kelompok pengeluaran Rp 2,1-3 juta yang turun dari 123,1 menjadi 119,6, kelompok Rp 3,1-4 juta turun dari 130 ke 127,4, kelompok Rp 4,1-5 juta turun dari 132 ke 129,1, dan kelompok di atas Rp 5 juta turun dari 132,8 menjadi hanya 127,8.

Data untuk persentase tabungan terhadap pendapatan juga menunjukkan penurunan yang terus berlanjut. Pada April 2024, persentasenya sebesar 16,7%, namun pada Mei 2024 menjadi hanya 16,6%. Begitu pula dengan data porsi konsumsi terhadap pendapatan yang menurun dari 73,6% menjadi 73%, serta komposisi cicilan pinjaman terhadap pendapatan masyarakat yang naik dari 9,7% menjadi 10,3%, berdasarkan data dalam IKK BI.

"Kini, baik konsumsi maupun tabungan keduanya mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan mereka menurun dan cicilan pinjaman meningkat," tegas Telisa.

Kelambanan daya beli masyarakat, terutama di kalangan kelas menengah, telah membawa dampak pada penurunan penjualan bahan tahan lama atau barang tahan lama seperti kendaraan bermotor. Penjualan mobil misalnya, selama Semester I-2024 turun 19,4% dari 506.427 unit menjadi 408.012 unit.

Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara, menyatakan bahwa para pengusaha mobil bahkan akan merevisi target penjualan mobil 2024 sebanyak 1,1 juta unit, dengan mempertimbangkan sejumlah faktor penekan pasar, salah satunya gaji masyarakat yang tak mampu menjangkau harga mobil.

"Saat ini, salah satu faktor yang memicu stagnasi pasar mobil adalah harga mobil baru yang tidak terjangkau oleh pendapatan per kapita masyarakat. Gap antara pendapatan rumah tangga dan harga mobil baru semakin membesar," ungkapnya dalam diskusi Forum Wartawan Industri.

Ia juga menambahkan bahwa penjualan mobil sangat bergantung pada pendapatan masyarakat. Oleh karena itu, pendapatan per kapita harus naik 5% hingga 6% per tahun, agar mendorong kelompok kelas menengah ke kelompok berpendapatan tinggi sehingga dapat mendorong penjualan otomotif.

Sektor industri kendaraan bermotor cukup mengkhawatirkan, karena selama periode 2000-2013, pasar mobil domestik tumbuh rata-rata sebesar 21,3%, didorong oleh kenaikan pendapatan per kapita sebesar 28,2%. Namun, selama periode 2013-2022, pendapatan per kapita hanya naik 3,65%, sehingga pasar mobil turun rata-rata 1,64% setiap tahun.

Menurut catatan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, 40 juta pekerja di Indonesia masih memiliki gaji di bawah Rp 5 juta. Jumlah ini jauh di bawah target pendapatan per kapita hingga akhir 2024 yang sebesar US$ 5.500 per tahun, atau setara Rp 7,45 juta per bulan. Sementara itu, inflasi bahan pangan yang semakin tinggi juga semakin menggerus pendapatan bulanan masyarakat. Inflasi bahan pangan naik sejak Januari 2024 dan mencapai level tertinggi pada Maret 2024 sebesar 10,33%, sebelum akhirnya turun pada Juni 2024 ke posisi 5,96%. Pada bulan Mei, inflasi bahan pangan masih sebesar 8,14%, jauh di atas kenaikan rata-rata gaji di Indonesia.

Berdasarkan catatan Bank Indonesia, kenaikan gaji untuk aparatur sipil negara (ASN) pada periode 2019-2024 hanya sebesar 6,5%, sementara untuk periode 2020-2023 tidak ada kenaikan gaji. Sementara kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) atau gaji pegawai swasta rata-rata hanya 4,9% pada periode 2020-2024.

Selain pendapatan yang minim, masyarakat Indonesia juga semakin banyak terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), yang mengakibatkan pendapatan bulanan mereka hilang. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, pada periode Januari-Mei 2024, jumlah pekerja yang terkena PHK mencapai 27.222 orang, meningkat 48,48% dari periode yang sama pada tahun sebelumnya.

Meskipun begitu, data pemerintah tidak memberikan gambaran mengenai sektor mana yang paling banyak mengalami PHK. Namun, berdasarkan data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), PHK di sektor industri Tekstil, Pakaian Jadi, dan Produk TPT saja telah mencapai 10.800 tenaga kerja, per Mei 2024.

Ekonom dari Institute for Development of Economixs and Finance, Abdul Manap Pulungan, menyatakan bahwa dengan kondisi maraknya PHK dan kenaikan gaji yang terhambat, tidak mengherankan jika aktivitas ekonomi domestik melambat, yang kemudian berdampak pada penurunan pendapatan negara, mulai dari Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) yang merosot hingga setoran pajak sektor perdagangan yang melemah.

Setoran pajak dari sektor industri perdagangan, yang memiliki porsi 24,79% dari total setoran pajak, hanya mencapai Rp 211,09 triliun atau mengalami penurunan 0,8% secara neto per Semester I-2024. Padahal, pada periode yang sama tahun sebelumnya, setorannya masih tumbuh sebesar 7,3%. Sementara itu, PPN DN juga mengalami kontraksi sebesar 11% secara neto dengan realisasi Rp 193,06 triliun. Porsi setoran PPN DN terhadap total penerimaan mencapai 21,60%, menjadi yang terbesar di antara jenis pajak lainnya.

Abdul Manap juga menambahkan bahwa tingginya inflasi bahan makanan menyebabkan orang lebih memprioritaskan kebutuhan pangan daripada kebutuhan lainnya. Inflasi bahan makanan yang tinggi menyebabkan kondisi ini, yang kemudian mengakibatkan terjadi penurunan dayabeli masyarakat.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved