Sumber foto: Google

Mirisnya Sarjana RI! Kuliah Bertahun-Tahun Berujung Jadi ART- Sopir

Tanggal: 26 Jun 2025 12:07 wib.
Banyak lulusan sarjana di Indonesia yang akhirnya bekerja jadi ART, sopir, bahkan security. Fenomena ini mencerminkan realitas pahit yang dihadapi oleh banyak sarjana Indonesia yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengejar gelar S1. Setelah menyelesaikan kuliah dengan harapan akan mendapatkan pekerjaan yang layak, kenyataannya justru berbanding terbalik. S1 kini hanya menjadi alat seleksi awal bagi perusahaan, dan bukan lagi jaminan untuk mendapatkan pekerjaan impian.

Salah satu faktor utama yang menyebabkan banyak sarjana terpaksa mengambil pekerjaan di sektor yang tidak sesuai dengan gelar mereka adalah ketidakseimbangan antara jumlah pencari kerja dan lowongan yang tersedia. Jumlah lulusan yang setiap tahun meningkat pesat tidak sebanding dengan ketersediaan lapangan kerja yang memadai. Menurut data Badan Pusat Statistik, angka pengangguran di Indonesia terus menunjukkan angka yang mengkhawatirkan, terutama di kalangan sarjana. Ini menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat, mengapa begitu sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan tinggi, sementara gelar dianggap sangat penting di pasar kerja.

Selain itu, banyak perusahaan, terutama multinasional, kini lebih memprioritaskan keterampilan daripada sekadar gelar pendidikan. Mereka mencari pegawai yang memiliki kemampuan teknis seperti coding, penguasaan perangkat lunak, atau keahlian dalam bidang robotik yang sangat relevan dengan perkembangan teknologi saat ini. Human Resource Development (HRD) lebih cenderung melihat sertifikasi teknis dan pengalaman praktis dibandingkan dengan ijazah akademis semata. Hal ini membawa dampak besar bagi para lulusan yang hanya mengandalkan gelar tanpa mengembangkan skill tambahan yang dibutuhkan oleh perusahaan.

Kondisi ini juga diperburuk oleh minimnya kurikulum pendidikan yang mampu menciptakan keterampilan praktis di perguruan tinggi. Sebagian besar lembaga pendidikan di Indonesia masih berpegang pada metode pengajaran konvensional yang lebih fokus pada teori, sementara industri bergerak cepat dan membutuhkan tenaga kerja yang siap pakai. Sekolah tinggi dan universitas perlu beradaptasi dengan kebutuhan pasar dan mengembangkan program yang mengedepankan skill praktis.

Tidak jarang kita mendengar tentang seorang lulusan sarjana yang akhirnya bekerja sebagai ART (Asisten Rumah Tangga), sopir, atau bahkan security. Mereka tidak hanya kehilangan kesempatan untuk menerapkan ilmu yang telah dipelajari, tetapi juga mengalami frustrasi dan rasa rendah diri. Padahal, mereka telah berinvestasi banyak dalam pendidikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas sistem pendidikan tinggi di Indonesia dan apa yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan lulusan agar lebih siap menghadapi tantangan di dunia kerja.

Dengan adanya fenomena ini, penting untuk mempertimbangkan pendekatan yang lebih holistik dalam pendidikan tinggi di Indonesia. Mendorong kolaborasi antara lembaga pendidikan dan industri bisa menjadi langkah awal untuk memastikan bahwa lulusan tidak hanya memiliki ijazah, tetapi juga keterampilan yang relevan. Program pelatihan dan magang yang terintegrasi dengan kurikulum akademik juga dapat memberikan pengalaman praktis kepada mahasiswa sebelum mereka lulus dan memasuki dunia kerja.

Ironisnya, di tengah tingginya jumlah lulusan yang terjebak dalam pekerjaan dengan level rendah, cita-cita untuk mencapai kesejahteraan melalui pendidikan tinggi justru semakin menjauh. Atas dasar itu, perlu ada langkah konkret untuk menangani masalah mendasar ini agar lulusan sarjana di Indonesia tidak lagi berujung pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan harapan dan keahlian mereka.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved