Mimpi Buruk Pengusaha Kecil: Bagaimana Tarif Trump Memicu Kekacauan & Ketidakpastian
Tanggal: 13 Jun 2025 11:00 wib.
Kebijakan Presiden Donald Trump selama masa kepemimpinannya di Amerika Serikat kini menghadirkan dampak serius bagi pengusaha kecil. Satu cerita mencuat dari Matt Kubancik, pemilik usaha perlengkapan bisbol Guardian Baseball. Dahulu, Kubancik adalah pendukung setia Partai Republik dan Trump dalam pemilu November lalu, berharap agar pemerintahan baru bisa menurunkan harga gas dan bahan pokok, serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun kenyataan sedikit banyak menghancurkan harapannya — setengah tahun pertama masa jabatan keduanya ia gambarkan sebagai “neraka berhenti sejenak.”
Kebijakan tarif tinggi yang diterapkan Trump sempat mengguncang perekonomian global. Tarif-tarif impor terhadap berbagai negara diterapkan secara sporadis, menciptakan gelombang ketidakpastian. Bahkan tarif impor barang China sempat mencapai 145%, sebelum akhirnya disetop melalui “gencatan senjata” yang disepakati di Jenewa pada 12 Mei 2025. Dalam masa penangguhan 90 hari itu, tarif dulunya tinggi kini disesuaikan menjadi 30%—tingkat yang tetap jauh lebih tinggi ketimbang sebelum era Trump dimulai.
Bagi Guardian Baseball, yang sebagian besar produknya diimpor dari China, kebijakan ini langsung menyulitkan operasi. Produk mereka tersedia di Amazon dan Walmart, namun biaya impor yang melonjak menyebabkan mereka menunda restok dan mengurungkan rencana ekspansi produk baru. Beberapa bisnis kecil kemudian terpaksa menaikkan harga jual karena beban tarif tinggi yang tak terelakkan. Kubancik sendiri menyebut keadaan ini sebagai tanda bahwa “Amerika bergerak ke arah yang salah,” menurut pernyataannya kepada CNBC Internasional.
Meski gencatan senjata tarif diterapkan, realitasnya masih jauh dari jelas. Kedua negara—AS dan China—masih saling tuduh melanggar kesepakatan awal. Tarif 30% saat ini masih membebani pelaku bisnis. Misalnya, Walmart mengakui harus menaikkan harga karena tarif tersebut, namun Trump menanggapi dengan mengatakan bahwa biaya harus ditanggung oleh peritel itu sendiri.
Kubancik mengaku sempat beruntung ketika Guardian Baseball mendapat kesepakatan agar produknya dijual di 3.000 toko Walmart. Namun kini, karena risiko beban biaya tiba-tiba, ia memilih menahan diri: “Kami merasa seperti berada di pesawat yang menukik tajam.”
Kisah optimis setelah rekonsiliasi diplomatik baru-baru ini ternyata tidak terlalu menghibur bisnis kecil. Walau survei dari Chief Executive Group terhadap 270 CEO menunjukkan hanya kurang dari 30% memprediksi resesi dalam enam bulan ke depan (turun signifikan dibanding April yang 62%), namun data dari National Federation of Independent Business (NFIB) menunjukkan meski ada peningkatan optimisme, ketidakpastian masih tinggi. Bill Dunkelberg, Kepala Ekonom NFIB, menegaskan bahwa para pemilik usaha kecil masih menghadapi ketidakpastian signifikan.
Setelah negosiasi dagang dua hari di London pada 10 Juni 2025, Trump mengumumkan tarif 55% pada impor China, namun detail lengkapnya masih belum dirilis dan perlu persetujuan resmi dari pemerintah AS dan Presiden Xi Jinping. Sementara itu, Menteri Perdagangan AS, Howard Lutnick, menyatakan tarif saat ini tidak akan berubah sebelum perjanjian disepakati definitif.
Ketidakpastian masih menjadi bayang-bayang nyata. Alfred Mai, pendiri perusahaan kartu ASM Games, mengaku masih "bermode menunggu." Ia mempercepat produksi dan pengiriman dari China sebelum masa 90 hari selesai, karena khawatir tarif akan kembali melonjak dan memukul margin keuntungan. Mai menghitung harus menaikkan harga jual hingga 1020% untuk menutupi biaya tambahan.
Situasi tak hanya mengganggu impor dari China. Trump juga menerapkan tarif 25% untuk barang impor dari Kanada, memicu kekhawatiran di perusahaan seperti Down Under Bedding di Toronto. Pemiliknya, Tony Sagar, merasa bahwa tarif ini membuat beberapa produk—seperti selimut dan bantal bulu angsa— tak lagi ekonomis untuk dijual, bahkan mereka pernah harus mengembalikan uang pelanggan karena bea masuk luar biasa. Kini, Sagar bahkan mengecek setiap pesanan dari AS agar pembeli menyetujui biaya impor tinggi.
Di antara berbagai cerita ini, muncul pendapat dari Greg Shugar, pemilik bisnis pakaian. Ia menilai perubahan kebijakan tarif Trump didorong oleh keegoisan politik pribadi, bukan oleh strategi ekonomi. “Kalau kita memang paham motivasi pemerintahan, kita tahu kemana harus melangkah,” katanya. Perubahan mendadak kebijakan membuat rencana relokasi produksi—apakah akan tetap di China atau pindah—menjadi sulit diputuskan. Shugar dan pengusaha kecil lain bahkan telah menyampaikan keluhan langsung ke Gedung Putih melalui perwakilan National Retail Federation, namun suasana tetap pesimistis. “Tidak ada pemenang dari tarif ini, semua hanya jadi pecundang,” tegas Shugar.
Secara keseluruhan, paket tarif dan kebijakan perdagangan Trump selama enam bulan pertama masa jabatan keduanya telah menciptakan atmosfer ketidakpastian ekstrem bagi pengusaha kecil. Baik mereka yang bergantung pada impor maupun distribusi domestik merasakan tekanan dari tarif yang berubah-ubah, di tengah harapan bakal ada solusi stabilitas yang belum terlihat jelas. Dari kisah Kubancik hingga Mai dan Sagar, terlihat bagaimana keputusan politik tingkat atas berdampak langsung pada strategi bisnis, harga jual produk, dan keberlanjutan perusahaan kecil.
Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam era global, perubahan tarif dan kebijakan perdagangan tak hanya persoalan geopolitik, tapi dapat menjadi faktor penentu nasib usaha kecil, yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi. Hingga titik terakhir, tarif adalah pedang bermata dua—peluang bagi sebagian yang bisa mengelola risiko, dan mimpi buruk bagi mereka yang belum siap menghadapi gejolak.