Mengapa Literasi Keuangan Masih Rendah di Kalangan Muda?
Tanggal: 23 Jul 2025 08:45 wib.
Banyak generasi muda, meski melek teknologi dan informasi, kerap menunjukkan pemahaman yang minim tentang cara mengelola uang, berinvestasi, atau bahkan sekadar menabung dengan bijak. Kesenjangan ini bukan tanpa sebab, melainkan buah dari beberapa faktor yang saling berkaitan, mulai dari lingkungan pendidikan hingga kebiasaan digital yang terbentuk di era sekarang.
Kurikulum Pendidikan yang Belum Memadai
Salah satu akar masalah utama terletak pada sistem pendidikan formal yang belum memadai dalam mengajarkan literasi keuangan. Di banyak negara, termasuk Indonesia, mata pelajaran yang secara spesifik membahas pengelolaan uang, investasi, utang-piutang, atau perencanaan keuangan jangka panjang, masih sangat minim atau bahkan tidak ada. Jika pun ada, seringkali disampaikan dengan cara yang kurang menarik atau terlalu teoritis, tidak sesuai dengan realitas kehidupan sehari-hari anak muda.
Remaja dan mahasiswa umumnya tidak dibekali pengetahuan dasar tentang bagaimana membaca laporan keuangan pribadi, memahami bunga pinjaman, atau pentingnya asuransi. Akibatnya, mereka lulus dari sekolah tanpa bekal finansial yang cukup untuk menghadapi dunia nyata, di mana keputusan keuangan harus diambil setiap hari. Ini menciptakan generasi yang rentan terhadap jebakan utang, penipuan investasi, atau kesulitan mencapai tujuan finansial di masa depan.
Peran Keluarga dan Lingkungan yang Belum Optimal
Selain pendidikan formal, peran keluarga dan lingkungan terdekat juga sangat berpengaruh. Pendidikan keuangan idealnya dimulai dari rumah. Namun, banyak orang tua yang enggan atau tidak tahu bagaimana cara mengajarkan anak-anak mereka tentang uang. Ada yang menganggapnya tabu, terlalu rumit, atau merasa bukan prioritas utama. Anak-anak jadi tidak terbiasa melihat bagaimana orang tua mengelola anggaran, menabung, atau berinvestasi.
Lingkungan sosial juga membentuk perilaku keuangan. Jika seorang muda tumbuh di lingkungan di mana gaya hidup konsumtif lebih dominan, atau tidak ada contoh nyata pengelolaan keuangan yang baik, besar kemungkinan mereka akan meniru kebiasaan tersebut. Tekanan dari teman sebaya untuk selalu tampil up-to-date dengan barang-barang terbaru atau gaya hidup mewah juga bisa mendorong perilaku boros dan menghambat kebiasaan menabung.
Era Digital dan Jebakan Konsumerisme
Kemajuan teknologi dan era digital membawa kemudahan sekaligus tantangan baru. Akses mudah ke e-commerce, layanan paylater, pinjaman online instan, hingga promosi belanja yang agresif di media sosial, sangat memanjakan gaya hidup konsumtif. Anak muda, yang akrab dengan teknologi, seringkali tergoda untuk belanja impulsif atau mengambil pinjaman tanpa memahami konsekuensi jangka panjangnya.
Media sosial juga menciptakan fenomena "FOMO" (Fear of Missing Out) dan tekanan untuk menunjukkan kemewahan, yang mendorong pengeluaran di luar batas kemampuan finansial. Mereka terpapar terus-menerus pada iklan dan gaya hidup influencer yang seolah-olah harus diikuti. Tanpa literasi keuangan yang kuat, jebakan-jebakan ini sangat sulit dihindari, menyebabkan banyak anak muda terjebak dalam lingkaran utang atau kesulitan finansial.
Kurangnya Kesadaran dan Rasa Mendesak
Seringkali, kurangnya kesadaran dan rasa mendesak menjadi penghalang bagi anak muda untuk belajar literasi keuangan. Bagi mereka, masalah keuangan mungkin terasa jauh dan bukan prioritas utama saat ini. Mereka lebih fokus pada studi, pertemanan, atau hiburan. Konsep pensiun, investasi jangka panjang, atau dana darurat seringkali dianggap terlalu dini untuk dipikirkan.
Ada anggapan bahwa "nanti saja kalau sudah mapan", padahal pondasi keuangan yang kuat justru harus dibangun sejak dini. Minimnya pemahaman tentang compound interest (bunga berbunga) atau risiko inflasi membuat mereka tidak melihat urgensi untuk mulai menabung atau berinvestasi sejak muda. Kurangnya kesadaran ini diperparah jika tidak ada figur atau mentor yang bisa memberikan dorongan dan pemahaman tentang pentingnya literasi keuangan.
Meningkatkan literasi keuangan di kalangan muda bukan hanya tanggung jawab individu, melainkan perlu upaya bersama dari berbagai pihak. Pemerintah, lembaga pendidikan, keluarga, dan bahkan industri keuangan perlu bersinergi menciptakan ekosistem yang mendukung generasi muda untuk melek finansial.