Sumber foto: Canva

Mengapa Harga Singkong Murah Sekali Padahal Masa Panennya Berbulan-bulan?

Tanggal: 14 Agu 2025 11:34 wib.
Singkong, atau ubi kayu, adalah salah satu bahan pangan pokok yang punya peran penting bagi masyarakat Indonesia. Tanaman ini dikenal tangguh, mudah ditanam, dan bisa dipanen dalam waktu berbulan-bulan. Namun, ironisnya, harga jual singkong di tingkat petani seringkali sangat rendah, bahkan tidak sebanding dengan waktu dan tenaga yang dihabiskan untuk menanamnya. Kondisi ini menjadi dilema bagi para petani dan mencerminkan adanya masalah struktural dalam rantai pasok dan ekonomi singkong.

Produksi Melimpah dan Permintaan yang Terbatas

Salah satu penyebab utama harga singkong yang rendah adalah produksi yang melimpah (oversupply). Singkong termasuk tanaman yang mudah tumbuh di berbagai jenis tanah dan tidak memerlukan perawatan intensif seperti tanaman lain. Hal ini membuat banyak petani menanam singkong, terutama di lahan-lahan kering atau marjinal. Ketika masa panen tiba, semua singkong dari berbagai daerah dipanen dalam waktu yang bersamaan.

Di sisi lain, permintaan pasar terhadap singkong, terutama dalam bentuk segar, seringkali terbatas dan tidak stabil. Singkong tidak memiliki permintaan sekuat beras atau komoditas lainnya. Meskipun singkong diolah menjadi berbagai produk seperti tepung tapioka, keripik, atau tape, kapasitas pabrik pengolahan seringkali tidak sebanding dengan volume panen. Ini menciptakan situasi di mana pasokan jauh melebihi permintaan, dan secara otomatis, harga akan jatuh.

Rantai Pasok yang Panjang dan Tidak Efisien

Harga jual singkong di tingkat petani yang rendah juga disebabkan oleh rantai pasok yang panjang dan tidak efisien. Petani biasanya tidak bisa menjual hasil panennya langsung ke pabrik atau konsumen akhir. Mereka bergantung pada perantara, atau tengkulak, yang membeli singkong dengan harga sangat rendah. Tengkulak ini kemudian menjualnya lagi ke pengepul yang lebih besar, sebelum akhirnya sampai ke pabrik atau pasar.

Setiap perantara dalam rantai ini mengambil keuntungan. Akibatnya, harga singkong di pasar bisa jadi lebih mahal, sementara petani yang berada di ujung paling depan justru menerima harga yang paling kecil. Petani seringkali tidak punya pilihan lain karena mereka butuh uang tunai secepatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup atau membayar utang. Keterbatasan akses informasi harga pasar juga membuat posisi tawar petani sangat lemah.

Kurangnya Nilai Tambah dan Diversifikasi Produk

Masalah lain yang membuat singkong bernilai rendah adalah kurangnya nilai tambah dan diversifikasi produk. Sebagian besar singkong dijual dalam bentuk mentah. Singkong mentah punya kelemahan besar, yaitu mudah busuk. Jika tidak segera diolah atau dijual, singkong akan cepat rusak, dan petani terpaksa menjualnya dengan harga serendah mungkin untuk menghindari kerugian total.

Meskipun sudah ada produk olahan seperti tepung tapioka atau keripik, nilai jualnya belum sepenuhnya kembali ke petani. Petani jarang memiliki alat atau modal untuk mengolah singkong menjadi produk bernilai tinggi. Sebagian besar pabrik pengolahan dimiliki oleh pihak lain, sehingga petani hanya berfungsi sebagai pemasok bahan baku dengan harga murah. Jika ada inovasi atau program yang memberdayakan petani untuk mengolah singkong menjadi produk lain yang lebih awet dan bernilai jual tinggi (misalnya, mocaf, singkong beku, atau pakan ternak), harga di tingkat petani bisa lebih stabil.

Tidak Adanya Regulasi Harga yang Kuat

Tidak adanya regulasi harga yang kuat dari pemerintah juga berkontribusi pada masalah ini. Berbeda dengan komoditas strategis seperti beras, yang harganya sering dikontrol oleh pemerintah melalui Bulog, harga singkong cenderung dibiarkan mengikuti mekanisme pasar. Ketika pasokan melimpah, harga turun drastis tanpa ada batas bawah yang melindungi petani.

Ketidakstabilan harga ini membuat petani enggan menjadikan singkong sebagai sumber pendapatan utama. Mereka mungkin menanam singkong hanya sebagai tanaman sampingan atau cadangan. Ini menciptakan siklus di mana singkong terus dianggap sebagai komoditas "murahan", dan masalah ini terus berulang dari tahun ke tahun tanpa solusi yang berkelanjutan.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved