Mengapa China Berani Lawan Tarif AS, Sementara Indonesia Pilih Negosiasi? Ini Kata Rhenald Kasali
Tanggal: 14 Apr 2025 15:29 wib.
Tampang.com | Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China kembali memanas setelah Presiden AS saat itu, Donald Trump, menaikkan tarif impor secara signifikan. Tak tinggal diam, China pun melakukan aksi balasan serupa. Namun di sisi lain, Indonesia yang juga terkena tarif tinggi justru memilih jalan negosiasi. Lalu apa yang membuat China begitu percaya diri melawan AS, sedangkan Indonesia lebih memilih pendekatan diplomatis?
Perang Tarif: Saling Balas Antara AS dan China
Awalnya, AS mengenakan tarif impor sebesar 34 persen terhadap barang-barang asal China. Presiden Xi Jinping langsung membalas dengan tarif serupa terhadap produk asal AS. Tak berhenti di situ, AS meningkatkan tarif hingga 104 persen, yang kembali dibalas oleh China menjadi 84 persen. Kini, tarif impor AS terhadap produk China telah melonjak hingga 125 persen, dan bahkan bisa naik menjadi 145 persen pada produk-produk tertentu. China pun tak tinggal diam, turut menaikkan tarif hingga menyamai angka 125 persen.
Mengapa China Berani Melawan?
Menurut Guru Besar Universitas Indonesia, Prof. Rhenald Kasali, keberanian China melawan AS tidak muncul tiba-tiba. Negeri Tirai Bambu itu telah melakukan berbagai persiapan strategis sejak masa awal pemerintahan Trump. Mereka mengurangi ketergantungan terhadap AS dan membangun fondasi ekonomi yang kuat, termasuk dalam penguasaan teknologi dan pengembangan pasar global.
“China sudah mengerjakan pekerjaan rumah mereka dengan sangat baik,” kata Rhenald. Ia menyebut China berhasil meningkatkan efisiensi, membangun infrastruktur, memperluas pasar ke Afrika, Asia, Eropa, dan Amerika Latin, serta mengembangkan teknologi tinggi yang kompetitif di pasar global.
Inovasi dan Investasi Jadi Kunci
China tidak hanya agresif dalam membalas tarif, tetapi juga dalam inovasi. Produk seperti AI Deepseek, perangkat teknologi dari Huawei, hingga kendaraan listrik seperti BYD dan Wuling, menjadi bukti dominasi China di sektor teknologi dan otomotif. Bahkan, BYD mencatatkan pendapatan yang melampaui Tesla pada 2024.
Investasi ke luar negeri juga menjadi strategi penting. China mengalihkan produksi ke negara-negara seperti Vietnam, yang kini termasuk dalam lima besar eksportir ke pasar AS. Hal ini membuat China tetap memiliki akses pasar, meskipun terjadi hambatan tarif dari AS.
Pendidikan dan SDM: Fondasi Keunggulan China
Menurut Rhenald, salah satu kekuatan utama China adalah kualitas sumber daya manusianya. Pendidikan yang mumpuni, keterampilan praktis, dan budaya efisiensi menjadi keunggulan yang sulit ditandingi. Universitas seperti Tsinghua University dan Peking University masuk dalam jajaran kampus terbaik dunia.
“China punya teknologi, pasar, kepercayaan diri, uang, dan kekuatan. Maka wajar jika mereka memilih retaliasi daripada tunduk,” ujar Rhenald.
Mengapa Indonesia Tidak Melawan?
Berbeda dengan China, Indonesia yang juga terkena tarif impor sebesar 32 persen dari AS, memilih melakukan negosiasi. Para menteri ekonomi RI bahkan melakukan kunjungan ke AS untuk membuka ruang dialog. Menurut Rhenald, langkah ini mencerminkan bahwa Indonesia belum siap secara fundamental untuk menghadapi tekanan global seperti China.
“Pekerjaan rumah kita masih banyak,” tegasnya. Rhenald menyebut sejumlah tantangan yang harus dibenahi di dalam negeri, seperti korupsi, premanisme, aturan perdagangan yang berbelit, diskriminasi tarif, hingga penegakan hukum yang lemah. Ia juga menyoroti keberadaan mafia ekonomi dan politisasi berlebihan yang menjadi penghambat kemajuan.
Efisiensi dan Agility Jadi Pembeda
Salah satu kekuatan China adalah efisiensi dalam segala lini. Pemerintah dan perusahaan mereka tidak menghamburkan sumber daya, termasuk saat melakukan kunjungan luar negeri. "Mereka ramping, cepat, dan gesit. Ini yang disebut agility dalam manajemen," jelas Rhenald.
Penutup: Belajar dari Strategi China
Kisah keberanian China dalam menghadapi tarif AS bisa menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Keberhasilan itu bukan hasil instan, melainkan buah dari kerja panjang, konsisten, dan terstruktur. Indonesia masih memiliki peluang besar untuk maju, asalkan mampu menyelesaikan persoalan internal dan membangun kekuatan ekonomi yang berdaya saing global.