Mantan Pejabat OJK Ungkap Alasan Batas Bunga Pinjol 0,8 Persen, Bukan Kartel
Tanggal: 19 Mei 2025 09:54 wib.
Tampang.com | Mantan Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode 2017–2020, Hendrikus Passagi, menegaskan bahwa penetapan batas bunga harian pinjaman online (pinjol) sebesar maksimal 0,8 persen merupakan kebijakan resmi dari regulator, bukan hasil kesepakatan antar pelaku usaha seperti yang kini sedang diselidiki oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
“Saya yang memerintahkan AFPI mengatur bunga pinjol saat itu. Ini bukan kartel, tapi keputusan saya sebagai regulator demi melindungi masyarakat,” ujar Hendrikus di Jakarta, Sabtu (17/5/2025).
Penjelasan ini diberikan menyusul dugaan praktik kartel bunga oleh 97 perusahaan fintech peer-to-peer (P2P) lending yang kini tengah diusut oleh KPPU. Lembaga pengawas persaingan usaha tersebut mencurigai adanya kesepakatan seragam soal bunga pinjaman, yang dinilai melanggar prinsip persaingan sehat.
Lebih lanjut, Hendrikus mengungkap bahwa pada masa awal perkembangan industri pinjol tahun 2017, bunga harian bisa melebihi 1 persen. Situasi itu mendorong OJK membentuk Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sebagai wadah untuk menetapkan batas bunga agar masyarakat tidak dirugikan.
“Saya tidak menunjuk angka spesifik, tapi hasil riset yang dibawa dari Financial Conduct Authority di Inggris menunjukkan batas wajar adalah 0,8 persen per hari. Itu kemudian dijadikan plafon maksimal, bukan tarif seragam untuk semua,” jelasnya.
Menurut Hendrikus, kebijakan pembatasan bunga ini adalah upaya preventif agar tidak terjadi praktik eksploitatif di tengah masyarakat yang mulai tertarik memanfaatkan layanan pinjol.
Sementara itu, KPPU tetap menyelidiki kemungkinan adanya kartel bunga, terutama karena angka bunga yang digunakan oleh hampir seluruh anggota AFPI cenderung seragam, baik saat masih di angka 0,8 persen maupun setelah diturunkan menjadi 0,4 persen pada tahun 2021.
KPPU menilai kesamaan tingkat bunga tersebut berpotensi melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang melarang perjanjian penetapan harga antarpelaku usaha.
Namun, Hendrikus menegaskan bahwa dugaan tersebut tidak tepat. “Kalau kebijakan regulator dianggap sebagai kartel, maka semua bentuk intervensi kebijakan publik bisa dituduh melanggar hukum. Ini jelas bukan kesepakatan bisnis, tapi keputusan diskresioner saya sebagai pejabat negara saat itu,” tegasnya.