Lonjakan Surplus Bank Indonesia 2024 Mencapai Rp 52,19 Triliun
Tanggal: 30 Jun 2025 10:32 wib.
Bank Indonesia (BI) telah merilis laporan keuangan untuk tahun 2024, yang menunjukkan peningkatan surplus keuangan yang sangat signifikan, mencapai Rp 52,19 triliun. Angka ini merupakan lonjakan yang cukup mencolok dibandingkan dengan surplus pada tahun 2023, yang hanya sebesar Rp 36,31 triliun. Hal ini menarik perhatian para ekonom, salah satunya Ekonom Senior di Bright Institute, Awalil Rizky, yang memberikan kritik terkait kondisi surplus yang muncul di tengah situasi ekonomi yang tidak menentu.
Awalil menjelaskan bahwa surplus yang dilaporkan Bank Indonesia pada tahun 2024 adalah yang tertinggi dalam sejarah mereka. Surplus ini mengalami peningkatan sebesar 20,43 persen dibanding tahun sebelumnya dan terus mengikuti tren positif selama empat tahun terakhir setelah ada penurunan pada tahun 2019 dan 2020. Dalam laporannya yang dirilis pada Kamis (26/6/2025), Awalil menekankan pentingnya untuk memahami konteks di balik kenaikan surplus ini.
Dari data yang ada, BI mencatatkan surplus sebesar Rp 67,35 triliun sebelum pajak, yang setelah dikurangi pajak, berujung pada angka Rp 52,19 triliun. Surplus ini merupakan yang terbesar sejak tahun 2016, dan mencerminkan kondisi keuangan yang kuat dalam sembilan tahun terakhir. Angka surplus dihitung dari total penghasilan yang mencapai Rp 228,37 triliun, dengan beban yang tercatat sebesar Rp 161,32 triliun.
DI dalam laporan tahunan keuangannya telah menyediakan lima komponen utama yang menyusun penghasilan tersebut, yaitu pelaksanaan kebijakan moneter, pengelolaan sistem pembayaran, pengaturan serta pengawasan makroprudensial, pendapatan dari penyediaan pendanaan, serta pendapatan lainnya. Mengenai pendapatan utama Bank Indonesia, Awalil mencatat bahwa pendapatan dari pelaksanaan kebijakan moneter merupakan penyumbang terbesar dan pada tahun 2024 mencapai Rp 226,89 triliun, atau sekitar 99,22 persen dari total penghasilan.
Pendapatan dari kebijakan moneter sendiri tersusun dari berbagai komponen, termasuk pendapatan bunga, transaksi yang berbasis prinsip syariah, dan bunga dari Surat Berharga Negara (SBN) yang digunakan untuk pemulihan ekonomi nasional. Total pendapatan bunga pada tahun 2024 pun mencapai angka tertinggi hingga saat ini, yakni Rp 91,53 triliun. Selain itu, pendapatan berbasis syariah juga menunjukkan performa yang baik, mencatatkan angka sebesar Rp 10,73 triliun, menjadikan total pendapatan dari kedua komponen ini mencapai Rp 102,26 triliun, atau setara dengan 44,72 persen dari seluruh penghasilan BI.
Awalil juga menjelaskan bahwa jika kita perhitungkan secara keseluruhan, pendapatan daya saing dari laporan tahunan ini meningkat bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya dan berpotensi memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian negara. Penghasilan dari SBN, terutama yang berkaitan dengan pemulihan ekonomi dan upaya kesehatan, turut menyumbang secara keseluruhan dengan angka yang cukup signifikan, yaitu Rp 26,20 triliun dan Rp 27,79 triliun.
Salah satu kelompok yang menyumbang angka positif adalah pendapatan dari transaksi aset keuangan yang mencapai Rp 9,71 triliun, termasuk di dalamnya keuntungan bersih dari transaksi penjualan emas dan surat berharga. Sementara itu, pendapatan yang diperoleh dari selisih kurs transaksi valuta asing juga menunjukkan kinerja yang mengesankan, dengan total mencapai Rp 54,57 triliun, berkontribusi 21,27 persen dari total penghasilan, dan mengalami peningkatan sebesar 35,15 persen dibandingkan tahun lalu.
Selama kurun waktu tersebut, struktur pendapatan BI dilihat juga dari kontribusi micro di luar kebijakan moneter, meskipun angkanya terbilang kecil. Misalnya, sistem pembayaran memberikan kontribusi sebesar Rp 249,54 miliar, sementara sektor pengawasan makroprudensial sebesar Rp 5,66 miliar, dan penyediaan pendanaan serta pendapatan lain-lain masing-masing sebesar Rp 67,06 miliar dan Rp 1,45 triliun.
Awalil Rizky menegaskan bahwa perlu perhatian lebih lanjut terhadap jenis-jenis pendapatan. Sebagai contoh, meskipun pelemahan nilai tukar rupiah berpotensi meningkatkan pendapatan, kondisi actual dari sektor moneter dan keuangan sebaiknya tidak dianggap negatif semata. Di satu sisi, peningkatan yang signifikan dalam penghasilan Bank Indonesia menunjukkan kesempatan dan potensi pertumbuhan, namun di sisi lain, hal ini juga menyiratkan adanya tantangan dalam stabilitas dan kepastian ekonomi yang semakin menurun.