Lebih dari 10.000 Perusahaan Jepang Bangkrut pada 2024, Tertinggi dalam 11 Tahun
Tanggal: 17 Jan 2025 23:45 wib.
Jumlah perusahaan bangkrut di Jepang meningkat tajam pada tahun 2024, mencapai angka 10.006 kasus. Angka ini mencatatkan kenaikan sebesar 15,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya, sekaligus menjadi peningkatan selama tiga tahun berturut-turut. Data ini diperoleh dari laporan perusahaan riset kredit Tokyo Shoko Research, seperti dikutip dari Kyodo News, Rabu (15/1/2025).
Salah satu faktor utama di balik lonjakan kebangkrutan ini adalah berakhirnya program penangguhan pajak yang diterapkan setelah pandemi Covid-19. Program tersebut sebelumnya membantu banyak perusahaan kecil dan menengah di Jepang untuk bertahan di tengah krisis ekonomi. Namun, setelah subsidi ini dihentikan, banyak perusahaan mulai menghadapi kesulitan keuangan yang berujung pada kebangkrutan.
Tidak hanya itu, beberapa faktor eksternal turut memperburuk situasi. Kenaikan harga barang impor yang disebabkan oleh pelemahan nilai tukar yen semakin menekan kondisi finansial perusahaan. Ditambah lagi, kurangnya tenaga kerja di berbagai sektor membuat operasional perusahaan menjadi tidak efisien, sehingga menambah beban pengeluaran mereka.
Menurut Tokyo Shoko Research, sebagian besar perusahaan yang bangkrut adalah usaha kecil dan menengah. Sektor-sektor seperti ritel, manufaktur, dan layanan makanan menjadi yang paling terpukul. Biaya operasional yang meningkat tajam tidak sebanding dengan pendapatan yang stagnan atau bahkan menurun.
Sebagai perbandingan, jumlah perusahaan yang bangkrut pada tahun 2023 adalah sekitar 8.692 kasus. Lonjakan ini menunjukkan betapa seriusnya dampak ekonomi dari kombinasi berbagai faktor domestik dan global yang tidak menguntungkan.
Banyak pengusaha di Jepang kini menyoroti pentingnya kebijakan ekonomi yang lebih mendukung keberlangsungan bisnis. Beberapa pakar ekonomi juga menyerukan agar pemerintah Jepang memberikan insentif baru bagi usaha kecil dan menengah, seperti pemotongan pajak atau program bantuan keuangan darurat.
Namun, para analis memperingatkan bahwa pemulihan ekonomi Jepang tidak akan mudah. "Lonjakan kebangkrutan ini mencerminkan kelemahan struktural dalam ekonomi Jepang. Reformasi besar diperlukan untuk mengatasi masalah ini," kata seorang ekonom senior di Tokyo.
Meningkatnya jumlah perusahaan bangkrut tidak hanya berdampak pada pemilik usaha, tetapi juga pada pekerja dan masyarakat secara umum. Ribuan orang kehilangan pekerjaan akibat penutupan perusahaan, yang pada akhirnya meningkatkan tingkat pengangguran di Jepang.
Di sisi lain, rantai pasokan juga terganggu karena banyaknya perusahaan yang tidak mampu memenuhi kontrak mereka. Hal ini dapat menyebabkan efek domino yang merugikan sektor-sektor lain dalam perekonomian.
Untuk mengatasi krisis ini, pemerintah Jepang telah berjanji akan memperkenalkan langkah-langkah baru untuk mendukung dunia usaha. Langkah-langkah tersebut meliputi pinjaman berbunga rendah, program pelatihan tenaga kerja, dan insentif untuk mendorong inovasi di sektor-sektor utama.
Namun, para ahli menegaskan bahwa langkah-langkah ini harus diimplementasikan dengan cepat dan efektif. Tanpa intervensi yang tepat, jumlah perusahaan yang bangkrut diperkirakan akan terus meningkat dalam beberapa tahun mendatang.
Krisis kebangkrutan ini menjadi pengingat akan pentingnya manajemen keuangan yang baik dan adaptasi terhadap perubahan ekonomi global. Perusahaan, khususnya yang berskala kecil dan menengah, perlu lebih fleksibel dalam menghadapi tantangan baru dan mencari cara inovatif untuk bertahan.
Di tengah situasi ini, masyarakat Jepang berharap pemerintah dan dunia usaha dapat bekerja sama untuk mengembalikan stabilitas ekonomi negara. Dengan langkah yang tepat, diharapkan angka kebangkrutan dapat ditekan dan ekonomi Jepang kembali bangkit dari keterpurukan.