Kualitas Beras asal Jawa masih Disukai Masyarakat di Kalimantan
Tanggal: 2 Nov 2017 11:37 wib.
Tampang.com - Meski beras produksi petani Kalbar dinyatakan surplus, beberapa distributor mengakui masih menjual beras yang didatangkan dari Jawa. Kualitasnya mengalahkan beras lokal.
Seperti disebut oleh Ali. Salah seorang distributor beras di Pasar Mawar, Pontianak, itu mengatakan beras yang dia jual kebanyakan didatangkan dari Jawa. “(Selain kualitas, red), kondisi berasnya lebih cantik yang dari Jawa, kalau di sini (beras lokal) masih di bawah lah,” ungkap Ali,
Tak hanya itu, ia mengungkap, hasil gilingan petani lokal belum begitu rapi. Masih terdapat banyak kulit padi di beras yang diambilnya dari petani lokal.
Pedagang beras lainnya, Valentinus, memaparkan hal yang sama. Kata dia, beras lokal kebanyakan berjenis beras pera serta memiliki tekstur warna yang berbeda dengan beras Jawa.
“Beras lokal ini kalau dimasak kebanyakan jadi keras,” bebernya.
Sedangkan A Kok, pedagang beras di pasar yang sama, mengakui lebih banyak menjual beras asal Jawa karena jenisnya yang lebih bervariasi. Dan beras Jawa masih jadi habbit (kebiasaan) untuk dikonsumsi para pelanggannya.
“Hanya orang tertentu saja yang cari (beras lokal). Orang kebanyakan lebih suka beras Jawa, mungkin sudah kebiasaan masyarakat sini konsumsi beras Jawa,” ujar A Kok.
Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Pertanian dan Holtikultura Kalbar, Heronimus Hero menuturkan, pola petani pascapanen yang menumpuk gabah menjadi salah satu faktor turunnya kualitas beras lokal Kalbar. “Ditumpuk dua-tiga hari baru giling kualitasnya akan turun, karena enzimatis dari kegiatan fisiologis gabah pascapanen itu tetap berlangsung, itu yang tidak baik,” papar Hero.
Dikatakannya, pola tersebut masih dilakukan oleh sebagian besar petani Kalbar. Penurunan kualitas dapat dilihat dari perubahan warna putih menjadi coklat pada beras. Pun menjadi keras, kemudian gampang pecah.
“Pola seperti ini memang harus kita rombak, memberikan informasi ke masyarakat bahwa yang bagus itu, begitu panen langsung rontok dan jemur,” jelasnya.
Hal tersebut juga menjadi salah satu faktor kenapa beras di luar negeri seperti Thailand berkualitas bagus. “Kalau kita ini kan masih banyak faktor, seperti penguasaan teknologi, pemahaman tentang arti benih pascapanen, dan peralatan masih kurang,” aku Hero.
Sebenarnya, ia mengatakan, Indonesia telah memiliki mesin tani Combine Harvester yang mampu membantu petani lokal saat pascapanen. Selain beras bisa digunakan untuk mengolah jagung.
“Tapi memang harganya agak lumayan, kalau kecil mungkin seratus juta rupiah, kalau yang sedang dua ratus juta rupiah, yang besar tiga ratus juta rupiah,” ungkapnya.
Nah, yang bisa dilakukan petani secara mandiri adalah mengolah padi pascapanen dengan cara yang tepat. Bisa saja menggunakan alat pedal thresher yang harganya lebih murah.
“Paling mahal lima belas juta, itu bisa membantu merontokkan gabah,” pungkas Hero.