Sumber foto: iStock

Kronologi dan Dampak Kejatuhan Industri Tekstil di Indonesia Sehabis Pandemi

Tanggal: 27 Okt 2024 15:13 wib.
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia mengalami masa-masa sulit pasca pandemi Covid-19 yang berdampak pada kondisi ekonomi global. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, menjelaskan kronologi dari peristiwa ini. 

Menurut Jemmy, awalnya ekonomi global melambat setelah masa pandemi, diikuti oleh inflasi tinggi dan kenaikan suku bunga di berbagai negara, termasuk Indonesia. Hal ini berdampak langsung pada penurunan daya beli di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat dan negara-negara di Uni Eropa. 

Di sisi lain, surplus produksi TPT di China juga meningkat pasca pandemi, yang mengakibatkan ancaman dumping barang tekstil dari China ke berbagai negara produsen TPT dunia, termasuk Indonesia. Untuk melindungi industri dalam negeri dari serbuan produk China, negara-negara produsen TPT dunia menerapkan kebijakan-kebijakan proteksi perdagangan.

Meskipun demikian, China terus memanfaatkan surplus produksi tekstilnya ke Indonesia, yang kemudian memberikan tekanan yang signifikan terhadap sektor industri TPT dalam negeri. Tidak hanya itu, berbagai masalah lain juga membuat industri TPT semakin terpuruk, seperti kondisi geopolitik dan ekonomi dunia, inflasi di Amerika Serikat dan Uni Eropa, serta diterapkannya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.8/2024 yang meningkatkan impor TPT dalam negeri.

Dampak dari semua peristiwa ini terutama dirasakan pada industri TPT di Indonesia. Puncak kejayaan industri TPT tercatat pada 2019 dengan kontribusi pertumbuhan terhadap produk domestik bruto (PDB) dalam negeri sebesar 15,35%. Namun, sejak 2020 hingga 2024, industri ini terus digempur oleh berbagai masalah.

Dalam upaya untuk melindungi industri dalam negeri, Jemmy Kartiwa Sastraatmaja memberikan beberapa saran. Dia menyarankan agar Indonesia mempertimbangkan penerapan bea masuk antidumping (BMAD) atau bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) sebagai langkah untuk melindungi industri dalam negeri dari produk tekstil asing. Selain itu, Jemmy juga menyoroti pentingnya penerapan hambatan nontarif untuk memastikan kualitas produk impor, seperti halnya sertifikasi Bureau of India Standards (BIS) yang diterapkan oleh India.

Selain saran-saran tersebut, perlunya perhatian pada kondisi utilitas pabrik di industri TPT yang terus mengalami penurunan juga menjadi sorotan. Hal ini terlihat dari turunnya angka utilitas industri TPT, yang menjadi salah satu alasan terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di sektor industri TPT. Relokasi industri TPT dari Jawa Barat ke Jawa Tengah juga tidak banyak memberikan dampak positif bagi penyerapan tenaga kerja di sektor ini.

Menanggapi kondisi sulit yang dihadapi industri TPT di Indonesia, perlu adanya kolaborasi antara pemerintah dan pelaku industri TPT untuk mengatasi masalah ini. Komunikasi yang intensif antara pemerintah dan industri diharapkan dapat memunculkan kebijakan-kebijakan yang dapat mendukung perbaikan iklim industri TPT ke depannya.

Kondisi industri TPT yang terus memburuk juga menuntut perhatian pemerintah dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang dapat mengatasi berbagai masalah yang dihadapi industri ini, baik dalam hal perlindungan dari dampak global maupun dalam hal meningkatkan kualitas produk dalam negeri. Dengan kolaborasi yang baik antara pemerintah dan pelaku industri, diharapkan industri TPT Indonesia dapat bangkit kembali mewujudkan industri yang kuat dan berdaya saing di tingkatglobal.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved