Sumber foto: google

Khawatir Ikut Kena Kewajiban, Pengemudi Ojol Tolak Iuran Tapera, Apa Poin Keberatannya?

Tanggal: 3 Jun 2024 12:08 wib.
Dua organisasi jasa angkutan daring menolak kebijakan Kementerian Ketenagakerjaan terkait keanggotaan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). PP Nomor 21 Tahun 2024 akan mengenakan iuran sebesar 3 persen dari penghasilan para pekerja. Hal ini ditolak oleh Ketua Asosiasi Driver Ojol, Taha Syafariel, yang menyebut keputusan ini akan merugikan pengemudi ojol. 

Asosiasi Driver Ojol menilai bahwa aturan ini akan membuat pengemudi ojol semakin tersiksa dan terpinggirkan. Mereka meminta pemerintah untuk mengakui status para pengemudi ojek daring sebagai kelompok yang bisa dilindungi seperti yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Menurut Taha, para pekerja ojol saat ini tidak mendapat perlakuan yang layak, seperti tunjangan hari raya dan skema kemitraan tanpa perjanjian kerja yang jelas.

Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Lily Pujiati, juga menolak PP Tapera tersebut. Baginya, potongan sebesar 3 persen dari upah akan memberatkan pekerja angkutan online seperti ojek, taksi, dan kurir. Menurutnya, pemerintah seharusnya lebih memperhatikan kesejahteraan pekerja angkutan daring ini daripada menambah pungutan iuran.

Pemerintah sendiri masih dalam proses public hearing dan mengkaji apakah pekerja ojek online masuk kriteria peserta program Tapera. Hingga saat ini, belum ada regulasi teknis yang mengaturnya, namun pihak Kementerian Ketenagakerjaan berencana untuk membahas aturan tersebut dalam merumuskan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan.

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker, Indah Anggoro Putri, mengungkapkan bahwa pemerintah masih mengevaluasi apakah pekerja ojek online akan masuk dalam skema Tapera. Hal ini juga dipertegas oleh Komisioner dan Pengelola BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, bahwa pekerja ojol dan kurir online belum masuk dalam aturan. Namun, pihaknya masih membuka kesempatan bagi pekerja yang ingin sukarela mengikuti program ini.

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang penyelenggaraan Tapera menimbulkan kekhawatiran bagi para pengemudi ojol karena dianggap akan membebani penghasilan mereka. Potongan sebesar 3 persen dari pendapatan juga dirasa sangat memberatkan terutama di tengah kenaikan harga barang-barang. Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali keputusan ini dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak merugikan pihak-pihak terkait. Menjaga keseimbangan dalam penerapan regulasi adalah hal yang sangat penting dalam memastikan kesejahteraan para pekerja. 

Kementerian Ketenagakerjaan seharusnya lebih proaktif dalam mengakomodasi kebutuhan dan masalah yang dihadapi oleh pekerja ojek online. Saat ini, perlindungan terhadap pekerja ojol masih menjadi perdebatan yang belum selesai. Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak hanya menguntungkan satu pihak, namun juga berdampak positif bagi semua pihak yang terlibat.


Pengemudi ojol merupakan salah satu sektor pekerjaan yang saat ini mendapat sorotan karena perkembangan teknologi dan aplikasi digital. Penggunaan aplikasi ojek daring semakin populer di masyarakat karena dinilai lebih efisien dalam transportasi pada era digital ini. Namun, keberadaan pengemudi ojol juga menimbulkan isu tentang perlindungan pekerja dan kesejahteraan mereka, terutama terkait dengan regulasi kepesertaan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Seiring dengan kemajuan teknologi, pekerja ojek online atau ojol menjadi salah satu kelompok pekerja yang perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah dalam hal perlindungan dan kesejahteraan. Namun, kebijakan terbaru terkait keanggotaan iuran Tapera telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengemudi ojol. Keputusan pemerintah untuk memungut iuran sebesar 3 persen dari pendapatan pekerja ini menuai penolakan dari beberapa organisasi, seperti Asosiasi Driver Ojol dan Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI).

Ketua Asosiasi Driver Ojol, Taha Syafariel, menolak keras rencana pungutan Tapera tersebut karena dianggap merugikan pengemudi ojol. Menurutnya, aturan ini justru semakin memposisikan pengemudi ojol sebagai kelompok masyarakat yang terpinggirkan dan tersiksa. Pemungutan iuran yang dilakukan dinilai tidak sesuai dengan kesejahteraan para pengemudi ojol. 

Selain itu, Taha juga menyebut bahwa pengemudi ojol sudah seharusnya mendapatkan perlindungan dan hak-hak yang layak sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. Menurutnya, para pekerja ojol saat ini tidak mendapatkan perlakuan yang adil, misalnya tunjangan hari raya dan skema kemitraan tanpa perjanjian kerja yang jelas. Oleh karena itu, penolakan terhadap kebijakan Tapera dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan yang layak bagi para pengemudi ojol.

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Lily Pujiati, yang menilai kebijakan ini akan memberatkan dan mengurangi penghasilan para pekerja. Lily melihat bahwa potongan sebesar 3 persen dari upah sangat memberatkan pekerja angkutan online, terutama di tengah kenaikan harga barang-barang. Selain itu, potongan yang dilakukan oleh aplikasi ojek daring juga telah merugikan pekerja dengan melakukan potongan lebih dari yang diatur pemerintah.

Pemerintah sendiri masih dalam proses pembahasan terkait kepesertaan pekerja ojek online dalam program Tapera. Hingga saat ini, belum ada kerangka teknis yang mengatur soal kepesertaan tersebut. Kementerian Ketenagakerjaan tengah melakukan public hearing dan mempertimbangkan aturan tersebut dalam Permenaker. Selain itu, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker, Indah Anggoro Putri, menyatakan bahwa pemerintah sedang mengharmonisasi Perlindungan bagi pekerja ojol dan platform digital workers.

Sementara itu, Komisioner dan Pengelola BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, menjelaskan bahwa aturan Tapera ini masih hanya berlaku bagi pekerja formal dengan kategori berpenghasilan rendah. Pekerja ojol dan kurir online belum termasuk dalam aturan tersebut. Namun, pihaknya akan membuka kesempatan bagi pekerja yang ingin sukarela mengikuti program Tapera.

Penolakan terhadap kebijakan Tapera juga merupakan sebuah dorongan agar pemerintah lebih memperhatikan kesejahteraan para pekerja ojek online. Penghasilan para pengemudi ojol saat ini memang belum sebanding dengan beban operasional yang harus mereka keluarkan. Menurut Lily Pujiati, rata-rata penghasilan pengemudi ojek daring saat ini hanya berkisar Rp50-100 ribu, dan belum dikurangi dengan kebutuhan biaya operasional.

Kementerian Ketenagakerjaan sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam menyusun kebijakan terkait ketenagakerjaan dan perlindungan pekerja, perlu lebih proaktif dalam mengakomodasi kebutuhan dan masalah yang dihadapi oleh pekerja ojek online. Perlindungan terhadap pekerja ojol masih menjadi perdebatan yang belum selesai, sehingga perlu adanya
Copyright © Tampang.com
All rights reserved