Kenaikan Tarif PBB: Apa yang Menyebabkannya dan Mengapa Sangat Disorot?
Tanggal: 18 Agu 2025 08:19 wib.
Belakangan ini, sejumlah pemerintah daerah (Pemda) di Indonesia tampak serentak menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dengan kenaikan yang cukup mencolok. Kebijakan yang diambil secara kolektif ini tentunya memicu gejolak di kalangan masyarakat, khususnya bagi mereka yang berpenghasilan menengah ke bawah, yang menganggap tarif baru ini menjadi beban berat.
Kenaikan tarif PBB yang tertera dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) tahun ini menghadirkan kejutan bagi banyak warga. Nominal yang harus dibayarkan tahun ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu, membuat banyak orang merasa cemas dan terbebani.
Contoh konkret dari kebijakan ini bisa ditemukan di berbagai daerah, seperti Kabupaten Pati, Jombang, Kota Cirebon, Kota Semarang, dan Kabupaten Bone. Di wilayah-wilayah ini, lonjakan tarif pajak mencapai angka yang sangat signifikan, bahkan beberapa daerah melaporkan kenaikan lebih dari tiga kali lipat.
Prof. Dr. Eko Prasojo, seorang Guru Besar Administrasi Negara di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, menyampaikan pandangannya tentang fenomena ini. Ia menjelaskan bahwa faktor utama di balik keputusan Pemda untuk meningkatkan tarif PBB secara mendadak adalah minimnya sumber penerimaan daerah. Sumber-sumber pendapatan yang ada dinilai tidak mencukupi, dan banyak pajak serta retribusi daerah lainnya yang memiliki potensi ekonomi yang rendah.
Lebih jauh, Eko menyoroti situasi dana bagi hasil dari pemerintah pusat yang cenderung tidak mencukupi untuk memenuhi berbagai kebutuhan publik yang terus meningkat, terutama beban gaji pegawai daerah. Dalam konteks ini, menurutnya, PBB menjadi salah satu pajak yang paling cepat dan efisien untuk meningkatkan pendapatan daerah.
Tidak hanya Eko, Agus Pambagio, seorang pengamat kebijakan publik, juga memberikan perspektif bahwa tingginya kenaikan tarif PBB sangat berkaitan dengan minimnya dana yang dikucurkan oleh pemerintah pusat. Menurutnya, dengan anggaran daerah yang sebagian besar habis untuk membayar gaji pegawai, opsi tercepat yang diambil oleh bupati adalah dengan menaikkan tarif PBB.
Agus menegaskan bahwa tidak ada pertimbangan yang cukup matang dari para pejabat daerah tentang dampak kenaikan tarif yang mungkin memicu ketidakpuasan masyarakat. Ini memberikan sinyal bahwa mereka tidak mempertimbangkan kekuatan rakyat yang bisa saja merespons kebijakan tersebut.
Penting untuk dicatat bahwa kenaikan tarif PBB ini tidak hanya mempengaruhi satu daerah saja. Beberapa lokasi mengalami kenaikan dengan persentase yang bervariatif, sehingga menciptakan ketidakpastian bagi masyarakat yang harus membayar pajak ini. Agus juga menunjukkan ketidakjelasan mengenai dasar perhitungan kenaikan yang mencapai angka antara 250 persen sampai 1.000 persen, yang diyakini bisa membingungkan.
Konsentrasi Pemda dalam menaikkan tarif PBB kemungkinan bukanlah solusi jangka panjang untuk meningkatkan pendapatan daerah. PBB langsung berdampak pada masyarakat, dan dalam situasi ekonomi yang sedang sulit, kenaikan ini justru dapat memperburuk kondisi masyarakat. Agus mengusulkan agar Pemda berpikir kreatif dalam menarik investasi dan menciptakan kemudahan bagi para investor sebagai upaya untuk mengembangkan ekonomi daerah.