Kemenangan Indonesia di WTO: Apa Dampak Keputusan Terkait Kebijakan Uni Eropa terhadap Kelapa Sawit?
Tanggal: 19 Jan 2025 20:29 wib.
Pada 10 Januari 2025, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengeluarkan putusan yang menguntungkan Indonesia terkait kebijakan Uni Eropa (UE) yang dianggap merugikan industri kelapa sawit Indonesia. Keputusan tersebut didukung oleh panel WTO yang menyatakan bahwa kebijakan UE, terkait Arahan Energi Terbarukan (RED II), bertentangan dengan aturan perdagangan internasional.
Keputusan ini dianggap sebagai kemenangan penting bagi sektor kelapa sawit Indonesia, yang selama ini merasa dirugikan oleh kebijakan diskriminatif dari UE.
Eddy Martono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), menyambut baik keputusan tersebut. Ia menilai bahwa putusan ini menunjukkan bahwa kebijakan UE yang menetapkan produk kelapa sawit sebagai biofuel berisiko tinggi terhadap emisi gas rumah kaca akibat perubahan penggunaan lahan tidak memiliki dasar yang kuat dan bertentangan dengan aturan yang berlaku di tingkat internasional.
Eddy juga menekankan bahwa putusan ini merupakan langkah penting untuk memperjuangkan keadilan bagi negara-negara penghasil kelapa sawit, khususnya Indonesia dan Malaysia.
Panel WTO memutuskan bahwa UE tidak bisa menetapkan kebijakan terkait kelapa sawit tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan negara-negara yang terkena dampak, termasuk Indonesia. Kebijakan UE terkait RED II yang menyebutkan bahwa biofuel berbasis kelapa sawit berisiko tinggi terhadap perubahan penggunaan lahan, seperti penggundulan hutan, dianggap tidak adil oleh Indonesia. Negara ini berpendapat bahwa kelapa sawit, jika dikelola dengan baik, dapat memberikan manfaat lingkungan yang signifikan.
Keputusan ini mengakui bahwa kebijakan UE tidak sesuai dengan aturan WTO, yang mengatur bagaimana negara-negara anggota harus berkonsultasi dan mempertimbangkan dampak kebijakan mereka terhadap negara lain yang terkait.
Eddy Martono menyatakan bahwa ini adalah kemenangan bagi industri kelapa sawit Indonesia yang selama ini merasa kebijakannya tidak dipertimbangkan dengan adil oleh UE. "WTO menyatakan bahwa setiap kebijakan yang ditetapkan UE harus terlebih dahulu dibicarakan dengan negara yang terkena dampaknya," ujar Eddy kepada CNBC Indonesia.
Namun, meskipun putusan tersebut menguntungkan Indonesia, Eddy juga mengingatkan bahwa langkah berikutnya adalah memastikan agar keputusan tersebut diadopsi oleh Badan Penyelesaian Sengketa WTO dalam waktu dua bulan.
Jika adopsi ini terjadi, maka keputusan tersebut akan mengikat antara Indonesia dan Uni Eropa, dan UE akan diharuskan untuk menyesuaikan kebijakannya agar sesuai dengan aturan WTO. Eddy juga menyarankan agar Indonesia melakukan pembicaraan lebih lanjut dengan UE, seperti yang dilakukan Malaysia, untuk menindaklanjuti hasil keputusan ini.
Proses hukum terkait sengketa ini bermula pada Desember 2019, ketika Indonesia menentang klasifikasi minyak kelapa sawit dan biofuel berbasis kelapa sawit sebagai produk yang berisiko tinggi terhadap perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung.
Indonesia menganggap kebijakan tersebut bersifat diskriminatif dan merugikan ekspor kelapa sawit. Sengketa ini kemudian dibawa ke WTO pada bulan Desember 2019 dan setelah proses konsultasi yang gagal, sebuah panel dibentuk pada Juli 2020 untuk memutuskan sengketa tersebut.
Malaysia juga mengajukan sengketa serupa terhadap UE dengan nomor kasus DS600. Sengketa tersebut disidangkan oleh panel yang sama dengan DS593 yang dihadapi Indonesia.
Laporan yang dihasilkan dari sengketa tersebut diadopsi oleh Badan Penyelesaian Sengketa WTO pada April 2024. Meskipun hasilnya menguntungkan Malaysia, negosiasi mengenai bagaimana UE harus mematuhi putusan ini masih berlangsung.
Keputusan ini menegaskan pentingnya keterbukaan dan konsultasi antarnegara dalam pengambilan kebijakan perdagangan internasional. Jika putusan ini diterima dan diadopsi, diharapkan Uni Eropa akan lebih memperhatikan dampak kebijakannya terhadap negara penghasil kelapa sawit seperti Indonesia.
Pemerintah Indonesia dan para pemangku kepentingan di sektor kelapa sawit kini memiliki dasar hukum yang kuat untuk memperjuangkan kepentingan mereka di pasar internasional.
Dalam beberapa bulan mendatang, Indonesia dan Malaysia akan memantau perkembangan lebih lanjut terkait kebijakan UE ini. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah melanjutkan pembicaraan dengan pihak UE untuk memastikan kebijakan yang lebih adil bagi negara-negara penghasil kelapa sawit. Selain itu, jika hasil konsultasi tidak memuaskan, sengketa ini bisa berlanjut ke tahap arbitrasi, di mana sebuah keputusan yang lebih mengikat akan dibuat.
Bagi sektor kelapa sawit Indonesia, kemenangan di WTO ini memberikan harapan baru untuk mengatasi tantangan yang dihadapi dalam ekspor kelapa sawit ke Eropa. Dengan keputusan ini, diharapkan ada perubahan signifikan dalam kebijakan UE yang lebih menghargai hasil pertanian Indonesia dan membuka pasar Eropa untuk produk kelapa sawit yang lebih berkelanjutan.