Kegagalan Tupperware: Kebangkrutan yang Meninggalkan Jejak di Dunia Bisnis
Tanggal: 19 Sep 2024 21:51 wib.
Tupperware Brands resmi mengajukan kebangkrutan, menyisakan jejak kegagalan dalam sejarah perusahaan yang pernah populer. Pada Selasa malam waktu setempat, perusahaan ini mengajukan perlindungan kebangkrutan di Delaware, Amerika Serikat (AS).
Kehadiran Tupperware yang pernah melanda pasar pada tahun 1950-an, di Amerika Serikat, mempengaruhi perubahan tren budaya dan pola belanja masyarakat. Namun, kejayaan masa lalu punya sedikit arti saat industri mengalami perubahan yang signifikan.
Manajemen Tupperware mengungkapkan bahwa perusahaan telah mengalami kerugian yang meningkat. Penjualan produk merosot dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah perusahaan menjalankan strategi baru dengan menempatkan produknya di toko ritel dan platform penjualan daring.
Sebelumnya, Tupperware dikenal karena menjalankan model penjualan langsung ke konsumen, yang sering disebut dengan direct selling. "Pesta Tupperware" yang menjadi ikon penjualan langsung itu, menjadi peristiwa berkala yang digelar untuk mempertemukan para penjual dengan calon pembeli. Namun, upaya perusahaan untuk menjangkau konsumen modern dengan strategi ini dinilai gagal.
Kekhawatiran akan risiko kebangkrutan sudah terdengar sejak beberapa waktu lalu. Tupperware beberapa waktu lalu secara terbuka menyatakan keraguan mereka akan kemampuan untuk terus menjalankan bisnis, mengingat kendala likuiditas yang terus mengganggu.
Debt Tupperware yang mencapai US$812 juta menjadi beban yang cukup besar bagi perusahaan. Para pemberi pinjaman berupaya menggunakan posisi utang mereka untuk menyita aset Tupperware, termasuk kekayaan intelektual seperti mereknya. Hal ini mendorong perusahaan untuk mencari perlindungan kebangkrutan.
Masalah tambahan seperti lonjakan biaya tenaga kerja, pengiriman, dan bahan baku pasca pandemi juga menekan bisnis Tupperware. Resin plastik yang menjadi bahan baku utama produk Tupperware juga turut terdampak oleh perubahan harga di pasaran. Situasi ini memaksa perusahaan untuk melanjutkan operasinya dengan melakukan proses penawaran selama 30 hari untuk menemukan investor baru.
Tupperware mencantumkan jumlah kreditornya antara 50.001 hingga 100.000, sementara perkiraan aset perusahaan tersebut berkisar antara US$500 juta hingga US$1 miliar, dan kewajiban sebesar US$1 miliar hingga US$10 miliar.
Ketua eksekutif di firma analisis keuangan Rapid Ratings, James Gellert, menyatakan bahwa dengan leverage yang tinggi, penjualan yang menurun, dan margin keuntungan yang menyusut, permasalahan yang dihadapi Tupperware terlalu berat untuk diatasi.
Kejatuhan Tupperware mencerminkan transformasi dalam dunia bisnis, terutama di era teknologi dan informasi seperti sekarang. Perubahan tren konsumen dan strategi pemasaran yang tidak lagi efektif menjadi faktor utama dalam kegagalan perusahaan yang pernah berjaya itu.