Ini Dia Permasalahan di Balik Kejatuhan PT Gudang Garam Tbk: Raksasa Rokok Indonesia di Ujung Tanduk?
Tanggal: 30 Jun 2025 10:29 wib.
Saat ini, PT Gudang Garam Tbk, salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia, berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Data keuangan untuk tahun 2024 menunjukkan bahwa laba bersih perusahaan mengalami penurunan drastis, yang hanya mencapai sekitar Rp900 miliar. Hal ini jauh berbeda dari capaian tahun sebelumnya yang mencatatkan laba lebih dari Rp5 triliun. Penurunan yang mengguncang lebih dari 80% ini menimbulkan pertanyaan yang cukup serius: apakah Gudang Garam benar-benar berada di ambang kehancuran?
Dalam sebuah tayangan di YouTube yang dipandu oleh Bennix berjudul "Gudang Garam TERPURUK! Raksasa Rokok RI di ujung tanduk?", dijelaskan bahwa penurunan performa ini tidak terjadi begitu saja. Salah satu penyebab utama adalah penurunan tajam dalam penjualan rokok. Pada tahun 2023, Gudang Garam berhasil menjual lebih dari 61 miliar batang rokok, namun jumlah tersebut anjlok menjadi hanya 53 miliar batang pada tahun 2024. Dengan perkiraan harga Rp1.000 per batang, penurunan penjualan ini berpotensi menyebabkan kerugian pendapatan hingga Rp8 triliun.
Salah satu penyebab utama dari merosotnya penjualan ini adalah kenaikan tarif cukai rokok yang signifikan selama lima tahun terakhir, di mana tarifnya melonjak hingga 67% atau sekitar 12% per tahun. Kini, dari harga jual satu bungkus rokok yang mencapai Rp40.000, lebih dari 50% harus digunakan untuk membayar cukai. Kenaikan ini menyebabkan harga rokok semakin melambung dan berhasil menggerus daya beli konsumen.
Akibat penurunan penjualan, stok produk Gudang Garam pun menumpuk di gudang mereka. Hal ini menyebabkan perusahaan tidak lagi membeli tembakau dalam jumlah besar dari petani. Di kawasan sentra tembakau seperti Temanggung, Jawa Tengah, yang biasa menyuplai lebih dari 8.000 ton tembakau setiap tahunnya, banyak petani kini terpaksa membawa hasil panen mereka ke gudang perusahaan, hanya untuk ditolak. Harga tembakau yang semula terjual pada kisaran Rp100.000 per kilogram kini malah terpuruk hingga hanya seharga Rp20.000.
Ironisnya, kebijakan Gudang Garam yang menahan pembelian tembakau membuat kondisi menjadi semakin buruk. Pasokan tembakau membanjir di pasar, harga pun jatuh semakin dalam, dan perusahaan kecil serta produsen rokok ilegal yang mampu membeli bahan baku dengan harga lebih murah mulai menguasai pasar. Situasi ini menciptakan “lingkaran setan” yang semakin menggerus daya saing Gudang Garam.
Di sisi lain, stok tembakau yang masih dimiliki oleh perusahaan ini sebagian besar dibeli ketika harga masih tinggi. Ketika harus bersaing dengan produk rokok yang dijual dengan harga murah oleh produsen kecil, posisi Gudang Garam menjadi tidak kompetitif. Jika situasi ini terus berlangsung, bukan tidak mungkin perusahaan legendaris ini akan kehilangan pijakan yang kuat di industri rokok di tanah air.
Kejatuhan Gudang Garam mencerminkan tantangan berat yang dihadapi oleh industri rokok Indonesia secara keseluruhan. Tekanan dari tarif cukai yang tinggi, daya beli konsumen yang menurun, serta peningkatan kompetisi dari produk ilegal telah menempatkan raksasa ini dalam situasi yang sangat memasukkan. Tanpa adanya langkah cepat dan strategi yang tepat, nasib Gudang Garam bisa saja mengarah kepada kehampaan di pasar rokok nasional.