Ini Dia Kontroversi Pernyataan Sri Mulyani: Gaji Guru dan Pajak Setara Zakat
Tanggal: 18 Agu 2025 08:22 wib.
MenteriKeuangan Sri Mulyani Indrawati akhir-akhir ini menjadi sorotan publik karena beberapa pernyataan yang dilontarkannya, terutama pada pertengahan Agustus 2025. Dalam beberapa kesempatan, ia menyentuh isu penting yang menjadi perhatian masyarakat, seperti gaji guru dan dosen serta kesamaan antara pajak dan zakat, yang keduanya menimbulkan berbagai tanggapan dan kritik.
Dalam sebuah acara yang diadakan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tanggal 7 Agustus 2025, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa persoalan gaji tenaga pendidik, baik guru maupun dosen, yang dikenal rendah merupakan salah satu tantangan signifikan bagi keuangan negara. Dia mencatat, “Banyak di media sosial berpendapat bahwa menjadi dosen atau guru tidak dihargai karena gajinya tidak sebanding dengan tanggung jawab yang mereka emban.” Hal ini mencerminkan betapa sulitnya kondisi yang dihadapi para pendidik, yang pada dasarnya memiliki peran vital dalam membangun generasi masa depan.
Lebih jauh lagi, Sri Mulyani menanya, “Apakah semua biaya harus ditanggung oleh negara, atau ada partisipasi dari masyarakat?” Namun, ia tidak merinci bentuk konkret dari keterlibatan masyarakat yang dimaksud, sehingga pernyataannya ini memancing beragam interpretasi dan diskusi di kalangan publik.
Selang beberapa hari, pada Rabu, 13 Agustus 2025, pernyataan Sri Mulyani kembali menjadi bahan pembicaraan ketika ia membandingkan kewajiban membayar pajak dengan menunaikan zakat dan wakaf sesuai ajaran Islam. Dalam pandangannya, baik pajak maupun zakat memiliki tujuan serupa, yaitu membantu sesama yang membutuhkan. “Di dalam setiap rezeki dan harta yang kita miliki, terdapat hak orang lain. Baik itu berupa zakat, wakaf, maupun pajak,” ujarnya dalam Sarasehan Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah yang diselenggarakan secara daring.
Sri Mulyani juga menjelaskan bahwa pendapatan yang diperoleh melalui pajak digunakan untuk membantu masyarakat yang kurang beruntung, meliputi program bantuan sosial, pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta layanan kesehatan. Ia menegaskan, "Prinsip keadilan menuntut kita untuk membantu mereka yang lemah." Namun, pandangan ini menuai berbagai tanggapan dari para ekonom dan ahli.
Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengemukakan bahwa pernyataan Sri Mulyani bertujuan untuk membangun pemahaman tentang kemuliaan memberi untuk kepentingan bersama. Namun, ia juga menekankan bahwa meskipun ada kesamaan dalam tujuan etis, pajak dan zakat memiliki asas dan sasaran yang berbeda. Zakat bersifat wajib dalam agama dengan rincian yang jelas, sedangkan pajak bersifat hukum yang pengaturannya lebih luas dan tidak terbatas pada satu tujuan tertentu.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, berpendapat bahwa perbandingan antara pajak dan zakat kurang tepat karena keduanya berasal dari sumber yang berbeda. Pajak ditetapkan oleh hukum positif yang berlaku di masyarakat, sedangkan zakat dan wakaf diatur berdasarkan ketentuan dalam agama. Ia mencatat, “Cara pandang Sri Mulyani kemungkinan besar dipengaruhi oleh tantangan dalam pencapaian target penerimaan pajak yang kian sulit.”
Pernyataan Sri Mulyani ini membuka kembali diskusi mengenai bagaimana seharusnya dukungan dan penghargaan terhadap guru dan dosen, serta bagaimana masyarakat memandang kontribusi pajak dalam konteks sosial dan agama. Diskusi ini mencerminkan tantangan yang lebih besar dalam menjaga kesejahteraan pendidikan dan keadilan sosial di tanah air, yang penting dihadapi dengan sikap kritis dan konstruktif.