Sumber foto: Google

INDEF: PP 28/2024 Ancam Industri Padat Karya dan Tekanan Fiskal Negara

Tanggal: 29 Mei 2025 22:34 wib.
Jakarta, Tampang.com – Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyatakan bahwa implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 berpotensi menciptakan tekanan fiskal yang signifikan bagi negara. Selain mengancam keberlangsungan industri padat karya seperti tembakau, regulasi ini juga dinilai dapat memperluas pasar rokok ilegal dan menurunkan penerimaan negara dari cukai.

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, Rizal Taufikurahman, mengatakan bahwa kebijakan ini perlu dikaji ulang secara menyeluruh agar tidak memperburuk kondisi industri padat karya.

"Arahan Presiden Prabowo untuk menderegulasi kebijakan yang menghambat ekonomi merupakan langkah strategis untuk merespons ancaman PHK yang semakin nyata di sejumlah sektor industri termasuk akibat dari kebijakan tarif Trump,” jelas Rizal dalam keterangannya, Kamis (28/5/2025).


Risiko Terhadap Industri Tembakau dan Ancaman PHK

Rizal mengingatkan, deregulasi tidak boleh dimaknai sebagai pelonggaran tanpa arah, tetapi sebagai proses penataan ulang regulasi agar lebih responsif dan kontekstual. Ia juga menyoroti bahwa proses perancangan PP 28/2024 masih minim partisipasi bermakna (meaningful participation).

Menurut Rizal, pemerintah perlu melakukan audit regulasi lintas sektor secara menyeluruh, terutama pada sektor padat karya yang menyerap jutaan tenaga kerja seperti industri tembakau dan makanan-minuman. Meskipun tujuan PP 28/2024 untuk memperkuat aspek kesehatan masyarakat patut diapresiasi, implementasi kebijakan seperti larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dan larangan pemajangan iklan rokok dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, serta rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek (plain packaging), justru mengandung risiko besar bagi keberlangsungan industri tembakau nasional.

“PP 28/2024 berpotensi menimbulkan dampak serius terhadap industri tembakau yang menyerap jutaan tenaga kerja. Aturan zonasi penjualan dan pelarangan iklan yang terlalu ketat bisa mengganggu rantai distribusi, menurunkan omzet pelaku usaha ritel, dan pada akhirnya memicu gelombang PHK, terutama di sektor buruh linting dan petani tembakau,” jelas Rizal.


Potensi Perluasan Pasar Ilegal dan Lubang Fiskal

Dalam pandangannya, pemerintah perlu melihat industri tembakau sebagai ekosistem ekonomi yang kompleks dan padat karya, bukan hanya dari sisi konsumsi. Selain ancaman PHK, pasal-pasal tembakau dalam PP 28/2024 dan wacana aturan turunannya turut berpotensi memperlemah industri legal dan memperluas pasar rokok ilegal. Rizal mengingatkan, rokok ilegal tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat, tetapi juga berdampak pada penerimaan negara.

“Wacana ini berpotensi menurunkan daya tarik produk legal dan memperbesar ceruk pasar bagi rokok ilegal yang tidak menyumbang cukai,” jelasnya. Ia mencatat, kontribusi cukai hasil tembakau terhadap APBN rata-rata mencapai Rp 218 triliun per tahun. Bila konsumsi bergeser ke produk ilegal, negara bisa kehilangan potensi pendapatan hingga puluhan triliun rupiah per tahun. “Kebijakan ini berisiko menciptakan lubang fiskal yang cukup besar,” tegas Rizal.


Solusi: Pengawasan, Edukasi, dan Pendekatan Proporsional

Menurut Rizal, solusi bukan hanya memperketat regulasi, melainkan memperkuat pengawasan dan edukasi publik. “Solusinya bukan sekadar memperketat aturan, tetapi memperkuat pengawasan, edukasi konsumen, tidak menaikan cukai, memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak memberi ruang pada pasar ilegal tumbuh,” tuturnya.

Rizal juga menyoroti bahwa upaya pembangunan ekonomi menuju target pertumbuhan ekonomi 8 persen akan sangat bergantung pada kontribusi sektor manufaktur dan padat karya, termasuk tembakau. Namun, kebijakan yang terlalu restriktif tanpa roadmap yang jelas bisa membawa dampak buruk. Industri tembakau menopang ekosistem ekonomi dari hulu ke hilir, dari petani, buruh linting, logistik, ritel, hingga penerimaan fiskal negara.

“Pemerintah harus meninjau ulang pendekatan ‘one size fits all’ terhadap sektor tembakau dan lebih mengedepankan model kebijakan yang proporsional, berbasis data, dan inklusif. Keseimbangan antara kesehatan dan ekonomi harus dijadikan fondasi utama dalam proses perumusan regulasi industri tembakau,” sebut Rizal.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved