Harga Tanah Melesat, Apakah Rumah Pribadi Kini Sekadar Mimpi untuk Generasi Muda?
Tanggal: 8 Mei 2025 10:10 wib.
Tampang.com | Rumah menjadi simbol stabilitas hidup, tapi bagi banyak generasi muda di Indonesia saat ini, memiliki rumah justru terasa seperti mimpi. Di tengah penghasilan stagnan dan harga properti yang melambung tinggi, membeli rumah pribadi bukan lagi hal mudah.
Harga Lahan Naik, Pendapatan Tidak Mengimbangi
Menurut data Bank Indonesia, harga tanah di kawasan urban utama naik rata-rata 7–12% per tahun. Sementara itu, kenaikan gaji rata-rata kaum muda di sektor formal hanya sekitar 3–4% per tahun.
“Dulu harga tanah per meter masih 500 ribu, sekarang bisa 2 juta lebih. Mana sanggup cicil rumah di kota,” ujar Arif, pekerja swasta usia 30 tahun yang sudah lima tahun mengontrak.
Stok Rumah Murah Kian Langka
Pemerintah memang memiliki program rumah subsidi, tapi permintaannya jauh melampaui pasokan. Menurut Kementerian ATR/BPN, backlog perumahan di Indonesia mencapai lebih dari 12 juta unit, mayoritas dari kelompok usia produktif.
Hunian murah juga umumnya berada di lokasi yang jauh dari pusat aktivitas ekonomi, sehingga membuat biaya transportasi tinggi dan waktu tempuh kerja makin panjang.
Spekulasi Lahan dan Dominasi Developer Besar
Kenaikan harga tanah juga didorong oleh spekulasi dan pembelian besar-besaran oleh pengembang besar. Banyak lahan tidur yang dibeli untuk ditahan, bukan langsung dibangun. Ini mempersempit ruang gerak masyarakat umum dalam mengakses tanah untuk rumah.
“Pasar properti kita makin dikuasai oleh segelintir pemain besar. Mereka atur harga, bukan pasar,” kata Dwi Larasati, peneliti kebijakan tata ruang dari INDEF.
Solusi: Reformasi Tata Ruang dan Akses Kredit yang Adil
Pakar perumahan menyarankan adanya reformasi tata ruang yang mendorong pemanfaatan lahan secara inklusif dan berkelanjutan. Selain itu, skema pembiayaan rumah untuk generasi muda harus disesuaikan dengan pola kerja baru seperti freelancer dan pekerja digital.
“Kalau skema kredit hanya cocok untuk pegawai tetap, ya yang kerja fleksibel akan terus terpinggirkan,” tambah Dwi.
Mewujudkan Hunian Layak dan Terjangkau untuk Semua
Kepemilikan rumah bukan sekadar urusan ekonomi, tapi hak sosial. Negara dan pasar harus bekerja sama untuk menjamin bahwa generasi masa kini—dan masa depan—tidak kehilangan harapan akan hunian yang layak.